Abu Al-Hasan As-Syadzili (593 - 656 H)

Sang Sufi Dunia Timur dan Barat

Nama lengkap adalah as-Syadzili Ali bin Abdillah bin Abdul-Jabbar, yang kalau diteruskan nasabnya akan sampai pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan putranya Fatimah al-Zahra', putri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Syekh Abu al-Hasan dilahirkan di negara Maroko tahun 593 H di desa yang bernama Ghimaroh di dekat kota Sabtah (dekat kota Thonjah sekarang).

Imam Syadzili dan kelimuan 
Di kota kelahirannya itu Syadzili pertama kali menghafal Alquran dan menerima   pelajaran ilmi-ilmu agama, termasuk mempelajari fikih madzhab Imam Malik. Beliau   berhasil memperoleh ilmu yang bersumber pada Alquran dan Sunnah demikian juga   ilmu yang bersumber dari akal yang jernih. Berkat ilmu yang dimilikinya, banyak   para ulama yang berguru kepadanya. Sebagian mereka ada yang ingin menguji kepandaian   Syekh Abu al-Hasan. Setelah diadakan dialog ilmiah akhirnya mereka mengakui   bahwa beliau mempunyai ilmu yang luas, sehingga untuk menguras ilmunya seakan-akan   merupakan hal yang cukup susah. Memang sebelum beliau menjalani ilmu thariqah,   ia telah membekali dirinya dengan ilmu syariat yang memadahi. 

Imam Syadzili dan Thariqah
Hijrah atau berkelana bisa jadi merupakan sarana paling efektif untuk menemukan   jati diri. Tak terkecuali Imam Syadzili. Orang yang lebih dikenal sebagai sufi   agung pendiri thariqah Syadziliyah ini juga menapaki masa hijrah dan berkelana.   
Asal muasal beliau ingin mencari jalan thariqah adalah ketika masuk negara Tunis   sufi besar ini ingin bertemu dengan para syekh yang ada di negeri itu. Di antara   Syekh-syekh yang bisa membuat hatinya mantap dan berkenan adalah Syekh Abi Said   al-Baji. Keistimewaan syekh ini adalah sebelum Abu al-Hasan berbicara mengutarakannya,   dia telah mengetahui isi hatinya. Akhirnya Abu al-Hasan mantap bahwa dia adalah   seorang wali. Selanjutnya dia berguru dan menimba ilmu darinya. Dari situ, mulailah   Syekh Abu al-Hasan menekuni ilmu thariqah.

Untuk menekuni tekad ini, beliau bertandang ke berbagai negara, baik negara   kawasan timur maupun negara kawasan barat. Setiap derap langkahnya, hatinya   selalu bertanya, "Di tempat mana aku bisa menjumpai seorang syekh (mursyid)?".   Memang benar, seorang murid dalam langkahnya untuk sampai dekat kepada Allah   itu bagaikan kapal yang mengarungi lautan luas. Apakah kapal tersebut bisa berjalan   dengan baik tanpa seorang nahkoda (mursyid). Dan inilah yang dialami oleh syekh   Abu al-Hasan.

Dalam pengembaraannya Imam Syadzili akhirnya sampai di Iraq, yaitu kawasan orang-orang   sufi dan orang-orang shalih. Di Iraq beliau bertemu dengan Syekh Shalih Abi   al-Fath al-Wasithi, yaitu syekh yang paling berkesan dalam hatinya dibandingkan   dengan syekh di Iraq lainnya. Syekh Abu al-Fath berkata kepada Syekh Abu al-Hasan,   "Hai Abu al-Hasan engkau ini mencari Wali Qutb di sini, padahal dia berada   di negaramu? kembalilah, maka kamu akan menemukannya".
Akhirnya, beliau kembali lagi ke Maroko, dan bertemu dengan Syekh al-Shiddiq   al-Qutb al-Ghauts Abi Muhammad Abdussalam bin Masyisy al-Syarif al-Hasani. Syekh   tersebut tinggal di puncak gunung. 
Sebelum menemuinya, beliau membersihkan badan (mandi) di bawah gunung dan beliau datang laksana orang hina dina dan penuh dosa. Sebelum beliau naik gunung ternyata   

Syekh Abdussalam telah turun menemuinya dan berkata, "Selamat datang wahai   Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar……". Begitu sambutan syekh   tersebut sembari menuturkan nasabnya sampai Rasulullah SAW. Kemudia dia berkata,   "Kamu datang kepadaku laksana orang yang hina dina dan merasa tidak mempunyai   amal baik, maka bersamaku kamu akan memperoleh kekayaan dunia dan akhirat”.   

Akhirnya beliau tinggal bersamanya untuk beberapa hari, sampai hatinya mendapatkan   pancaran ilahi. Selama bersama Syekh Abdussalam, beliau melihat beberapa keramat   yang dimilikinya. Pertemuan antara Syekh Abdussalam dan Syekh Abu al-Hasan benar-benar   merupakan pertemuan antara mursyid dan murid, atau antara muwarrits dan waarits.   Banyak sekali futuhat ilahiyyah yang diperoleh Syekh Abu al-Hasan dari guru   agung ini. 

Di antara wasiat Syekh Abdussalam kepada Syadzili adalah, "Pertajam penglihatan   keimanan, maka kamu akan menemukan Allah pada setiap sesuatu".

Tentang nama Syadzili
Kalau dirunut nasab maupun tempat kelahiran syekh agung ini, tidak didapati   sebuah nama yang memungkinkan ia dinamakan Syadzili. Dan memang, nama tersebut   adalah nama yang dia peroleh dalam perjalanan ruhaniah.

Dalam hal ini Abul Hasan sendiri bercerita : "Ketika saya duduk di hadapan   Syekh, di dalam ruang kecil, di sampingku ada anak kecil. Di dalam hatiku terbersit   ingin tanya kepada Syekh tentang nama Allah. Akan tetapi, anak kecil tadi mendatangiku   dan tangannya memegang kerah bajuku, lalu berkata, "Wahai, Abu al–Hasan,   kamu ingin bertanya kepada Syekh tentang nama Allah, padahal sesungguhnya kamu   adalah nama yang kamu cari, maksudnya nama Allah telah berada dalam hatimu.   Akhirnya Syekh tersenyum dan berkata, "Dia telah menjawab pertanyaanmu".   
Selanjutnya Syekh Abdussalam memerintahkan Abu al-Hasan untuk pergi ke daerah   Afriqiyyah tepatnya di daerah bernama Syadzilah, karena Allah akan menyebutnya   dengan nama Syadzili –padahal pada waktu itu Abu al-Hasan belum di kenal   dengan nama tersebut-. 

Sebelum berangkat Abu al-Hasan meminta wasiat kepada Syekh, kemudian dia berkata,   "Ingatlah Allah, bersihkan lidah dan hatimu dari segala yang mengotori   nama Allah, jagalah anggota badanmu dari maksiat, kerjakanlah amal wajib, maka   kamu akan memperoleh derajat kewalian. Ingatlah akan kewajibanmu terhadap Allah,   maka kamu akan memperoleh derajat orang yang wara'. Kemudian berdoalah kepada   Allah dengan doa, "Allahumma arihnii min dzikrihim wa minal 'awaaridhi   min qibalihim wanajjinii min syarrihim wa aghninii bi khairika 'an khairihim   wa tawallanii bil khushuushiyyati min bainihim innaka 'alaa kulli syai'in qadiir".   

Selanjutnya sesuai petunjuk tersebut, Syekh Abu al-Hasan berangkat ke daerah   tersebut untuk mengetahui rahasia yang telah dikatakan kepadanya. Dalam perjalanan   ruhaniah kali ini dia banyak mendapat cobaan sebagaimana cobaan yang telah dialami   oleh para wali-wali pilihan. Akan tetapi dengan cobaan tersebut justru semakin   menambah tingkat keimanannya dan hatinya semakin jernih. 

Sesampainya di Syadzilah, yaitu daerah dekat Tunis, dia bersama kawan-kawan   dan muridnya menuju gua yang berada di Gunung Za'faran untuk munajat dan beribadah   kepada Allah SWT. Selama beribadah di tempat tersebut salah satu muridnya mengetahui bahwa Syekh Abu al-Hasan banyak memiliki keramat dan tingkat ibadahnya sudah   mencapai tingkatan yang tinggi. 

Pada akhir munajat-nya ada bisikan suara , "Wahai Abu al-Hasan turunlah   dan bergaul-lah bersama orang-orang, maka mereka akan dapat mengambil manfaat   darimu, kemudian beliau berkata: "Ya Allah, mengapa Engkau perintahkan   aku untuk bergaul bersama mereka, saya tidak mampu" kemudian dijawab: "Sudahlah,   turun Insya Allah kamu akan selamat dan kamu tidak akan mendapat celaan dari   mereka" kemudian beliau berkata lagi: "Kalau aku bersama mereka, apakah   aku nanti makan dari dirham mereka? Suara itu kembali menjawab : "Bekerjalah,   Aku Maha Kaya, kamu akan memperoleh rizik dari usahamu juga dari rizki yang   Aku berikan secara gaib. 

Dalam dialog ilahiyah ini, dia bertanya kepada Allah, kenapa dia dinamakan syadzili   padahal dia bukan berasal dari syadzilah, kemudian Allah menjawab: "Aku   tidak mnyebutmu dengan syadzili akan tetapi kamu adalah syadzdzuli, artinya   orang yang mengasingkan untuk ber-khidmat dan mencintaiku”.

Imam Syadzili menyebarkan thariqah Syadziliyah
Dialog ilahiyah yang sarat makna dan misi ini membuatnya semakin mantap menapaki   dunia tasawuf. Tugas selanjutnya adalah bergaul bersama masyarakat, berbaur   dengan kehidupan mereka, membimbing dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan   ketenangan hidup. Dan Tunis adalah tempat yang dituju wali agung ini.

Di Tunis Abul Hasan tinggal di Masjid al-Bilath. Di sekitar tempat tersebut   banyak para ulama dan para sufi. Di antara mereka adalah karibnya yang bernama   al-Jalil Sayyidi Abu al-Azaim, Syekh Abu al-Hasan al-Shaqli dan Abu Abdillah   al-Shabuni. 

Popularitas Syekh Abu al-Hasan semerbak harum di mana-mana. Aromanya sampai   terdengar di telinga Qadhi al-Jama'ah Abu al-Qasim bin Barra'. Namun aroma ini   perlahan membuatnya sesak dan gerah. Rasa iri dan hasud muncul di dalam hatinya.   Dia berusaha memadamkan popularitas sufi agung ini. Dia melaporkan kepada Sultan   Abi Zakaria, dengan tuduhan bahwa dia berasal dari golongan Fathimi. 

Sultan meresponnya dengan mengadakan pertemuan dan menghadirkan Syekh Abu al-Hasan   dan Qadhi Abul Qosim. Hadir di situ juga para pakar fiqh. Pertemuan tersebut   untuk menguji seberapa kemampuan Syekh Abu al-Hasan. 

Banyak pertanyaan yang dilontarkan demi menjatuhkan dan mempermalukan Abul Hasan   di depan umum. Namun, sebagaimana kata-kata mutiara Imam Syafi'I, dalam ujian,   orang akan terhina atau bertambah mulia. Dan nyatanya bukan kehinaan yang menimpa   wali besar. Kemuliaan, keharuman nama justru semakin semerbak memenuhi berbagai   lapisan masyarakat. 

Qadhi Abul Qosim menjadi tersentak dan tertunduk malu. Bukan hanya karena jawaban-jawaban   as-Syadzili yang tepat dan bisa menepis semua tuduhan, tapi pengakuan Sultan bahwa Syekh Abu al-Hasan adalah termasuk pemuka para wali. Rasa iri dan dengki   si Qadhi terhadap Syekh Abu al-Hasan semakin bertambah, kemudian dia berusaha   membujuk Sultan dan berkata: "Jika tuan membiarkan dia, maka penduduk Tunis   akan menurunkanmu dari singgasana".

Ada pengakuan kebenaran dalam hati, ada juga kekhawatiran akan lengser dari   singgasana. Sultan demi mementingkan urusan pribadi, menyuruh para ulama' fikih   untuk keluar dari balairung dan menahan Syekh Abu al-Hasan untuk dipenjara dalam   istana. 

Kabar penahanan Syekh Abul Hasan mendorong salah seorang sahabatnya untuk menjenguknya.   Dengan penuh rasa prihatin si karib berkata, "Orang-orang membicarakanmu   bahwa kamu telah melakukan ini dan itu". Sahabat tadi menangis di depan   Syekh Abu al-Hasan lalu dengan percaya diri dan kemantapan yang tinggi, Syekh tersenyum manis dan berkata, "Demi Allah, andaikata aku tidak menggunakan   adab syara' maka aku akan keluar dari sini –seraya mengisyaratkan dengan   jarinya-. Setiap jarinya mengisyaratkan ke dinding maka dinding tersebut langsung   terbelah, kemudian Syekh berkata kepadaku: "Ambilkan aku satu teko air,   sajadah dan sampaikan salamku kepada kawan-kawan. Katakan kepada mereka bahwa   hanya sehari saja kita tidak bertemu dan ketika shalat maghrib nanti kita akan   bertemu lagi". 

Syekh as-Syadzili tiba di Mesir
Tunis, kendatipun bisa dikatakan cikal bakal as-Syadzili menancapkan thariqah   Syadziliyah namun itu bukan persinggahan terakhirnya. Dari Tunis, Syekh Abu   al-Hasan menuju negara kawasan timur yaitu Iskandariah. Di sana dia bertemu   dengan Syekh Abi al-Abbas al-Mursi. Pertemuan dua Syekh tadi memang benar-benar   mencerminkan antara seorang mursyid dan murid. 

Adapun sebab mengapa Syekh pindah ke Mesir, beliau sendiri mengatakan, "Aku   bermimpi bertemu baginda Nabi, beliau bersabda padaku : "Hai Ali…   pergilah ke Mesir untuk mendidik 40 orang yang benar-benar takut kepadaku”.
Di Iskandariah beliau menikah lalu dikarunia lima anak, tiga laki-laki, dan   dua perempuan. Semasa di Mesir beliau sangat membawa banyak berkah. Di sana   banyak ulama yang mengambil ilmu dari Syekh agung ini. Di antara mereka adalah   hakim tenar Izzuddin bin Abdus-Salam, Ibnu Daqiq al-Iid , Al-hafidz al-Mundziri,   Ibnu al-Hajib, Ibnu Sholah, Ibnu Usfur, dan yang lain-lain di Madrasah al-Kamiliyyah   yang terletak di jalan Al-muiz li Dinillah.

Karomah Imam Syadzili
Pada suatu ketika, Sultan Abi Zakaria dikejutkan dengan berita bahwa budak perempuan   yang paling disenangi dan paling dibanggakan terserang penyakit langsung meninggal.   Ketika mereka sedang sibuk memandikan budak itu untuk kemudian dishalati, mereka   lupa bara api yang masih menyala di dalam gedung. Tanpa ampun bara api tadi   melalap pakaian, perhiasan, harta kekayaan, karpet dan kekayaan lainnya yang   tidak bisa terhitung nilainya. 

Sembari merenung dan mengevaluasi kesalahan masa lalu, Sultan yang pernah menahan   Syekh Syadzili karena hasudan qadhi Abul Qosim tersadar bahwa kejadian-kejadian   ini karena sikap dia terhadap Syekh Abu al-Hasan. Dan demi melepaskan 'kutukan'   ini saudara Sultan yang termasuk pengikut Syekh Abu al-Hasan meminta maaf kepada   Syekh, atas perlakuan Sultan kepadanya. Cerita yang sama juga dialami Ibnu al-Barra.   Ketika mati ia juga banyak mengalami cobaan baik harta maupun agamanya.

Di antara karomahnya adalah, Abul Hasan berkata, "Ketika dalam suatu perjalanan   aku berkata, "Wahai Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba yang banyak   bersyukur kepada-Mu?, kemudian beliau mendengar suara , "Yaitu apabila   kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali hanya   dirimu. Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku bertanya, "Wahai Tuhanku,   bagaimana saya bisa berpendapat seperti itu, padahal Engkau telah memberikan   nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama' dan para penguasa. 

Suara itu berkata kepadaku, "Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak   akan mendapat petunjuk, andaikata tidak ada para ulama', maka kamu tidak akan   menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada para penguasa, maka kamu tidak   akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat yang Aku berikan untukmu".

Di antara karomah sudi agung ini adalah, ketika sebagian para pakar fiqh menentang   Hizib Bahr, Syekh Syadzili berkata, "Demi Allah, saya mengambil hizib tersebut   langsung dari Rasulullah saw harfan bi harfin (setiap huruf)".

Di antara karomah Syekh Syadzili adalah, pada suatu ketika dalam satu majlis   beliau menerangkan bab zuhud. Beliau waktu itu memakai pakaian yang bagus. Ketika   itu ada seorang miskin ikut dalam majlis tersebut dengan memakai pakaian yang   jelek. Dalam hati si miskin berkata, "Bagaimana seorang Syekh menerangkan   bab zuhud sedangkan dia memakai pakaian seperti ini?, sebenarnya sayalah orang   yang zuhud di dunia". 

Tiba-tiba Syekh berpaling ke arah si miskin dan berkata, "Pakaian kamu   ini adalah pakaian untuk menarik simpatik orang lain. Dengan pakaianmu itu orang   akan memanggilmu dengan panggilan orang miskin dan menaruh iba padamu. Sebaliknya   pakaianku ini akan disebut orang lain dengan pakaian orang kaya dan terjaga   dari meminta-minta". 

Sadar akan kekhilafannya, si miskin tadi beranjak berlari menuju Syekh Syadzili   seraya berkata, "Demi Allah, saya mengatakan tadi hanya dalam hatiku saja   dan saya bertaubat kepada Allah, ampuni saya Syekh". Rupanya hati Syekh   terharu dan memberikan pakaian yang bagus kepada si miskin itu dan menunjukkannya   ke seorang guru yang bernama Ibnu ad Dahan. Kemudian syekh berkata, "Semoga   Allah memberikan kasih sayang-Nya kepadamu melalui hati orang-orang pilihan.   Dan semoga hidupmu berkah dan mendapatkan khusnul khatimah". 

Syekh Syadzili wafat 
Syekh Abu al-Abbas al-Mursy, murid kesayangan dan penerus thariqah Syadziliyah   mengatakan bahwa gurunya setiap tahun menunaikan ibdah haji, kemudian tinggal   di kota suci mulai bulan Rajab sampai masa haji habis. Seusai ibadah haji beliau   pergi berziarah ke makam Nabi SAW di Madinah. Pada musim haji yang terakhir   yaitu tahun 656H, sepulang dari haji beliau memerintahkan muridnya untuk membawa   kapak minyak wangi dan perangkat merawat jenazah lainnnya. Ketika muridnya bertanya   untuk apa kesemuanya ini, beliau menjawab, "Di Jurang Humaistara [di propinsi   Bahr al-Ahmar) akan terjadi kejadian yang pasti. maka di sanalah beliau meninggal.

Wallahu a'lam.
Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

0 komentar:

Post a Comment