Eksistensi Seorang Mursyid



Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.

Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.

Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.

Urgensi Mursyid Dalam Tarekat



Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang
Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid. 

Hierarki Kewalian



Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara
garis besar dapat diringkas sebagai berikut :
  1. Wali Aqthab atau Wali Quthub
    Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan. 
  2. Wali Aimmah
    Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat. 
  3. Wali Autad
    Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid. 
  4. Wali Abdal
    Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
    Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian. 
  5. Wali Nuqoba’
    Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak. 
  6. Wali Nujaba’
    Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa. 
  7. Wali Hawariyyun
    Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah. 
  8. Wali Rajabiyyun
    Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

    Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

    Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang. 
  9. Wali Khatam
    Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.

Kualitas Wali Itu Bertingkat-tingkat


Bila mengacu pada al-Qur’an (Yunus, ayat 62-64), kriteria kewalian itu adalah iman dan taqwa. Dengan sudah terpenuhinya dua kriteria tersebut, berarti seseorang berhak menyandang predikat wali. Apakah
sesederhana itu? Menurut Dr. Asep Usman Ismail, kriteria kewalian dengan kadar keimanan dan ketaqwaan yang baru standar, barulah memenuhi konsep kewalian secara umum. Untuk tidak mengaburkan istilah wali yang demikian kudus, tentunya kita tidak bisa berpatokan pada pemahaman harpiyah dari ayat di atas. Kalau berbicara tentang kadar keimanan saja, sebagaimana dipaparkan dosen UIN Jakarta ini, standar kewalian itu haruslah mengenal Allah melalui penyaksian mata batinnya. Dan pada level ini pun masih bertingkat-tingkat kualitasnya.

Bagaimana pandangan Anda mengenai konsep kewalian?
Kalau kita kembalikan pada pengertian dasarnya, istilah wali itu kan maknanya bisa dekat, bisa juga kekasih, bisa berarti bimbingan, atau juga pemeliharaan. Jadi pengertian wali itu adalah orang yang dekat dengan Allah; karena kedekatannya itu pula maka ia layak menjadi kekasih Allah; karena telah dekat dan sekaligus menjadi kekasih-Nya, maka ia pun layak mendapat bimbingan dan juga pemeliharaan dari Allah. Karena itu konsep kewalian itu bisa dijelaskan dari sudut relasi, yaitu relasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. 

Wali Allah Menurut Hakim At-Tirmidzi



Hakim at-Tirmidzi lahir di Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah pada tahun 205 H/820 M. Nama lengkapnya adalah Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin Hasan al-Hakim at-Tirmidzi. Ia berasal dari keluarga ilmuwan ahli fiqih
dan hadits. Memasuki puncak ketasawufan setelah mengalami goncangan batin sebagaimana yang di kemudian hari dialami al-Ghazali. Ia mendefinisikan Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah, mempertahankan posisi (al-) kedekatannya kepada Allah. Dalam keadaan ini, menurut at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.

Karena kedekatannya dengan Allah, seorang wali memperoleh ‘ishmah (pemeliharaan) dan karamah (kemuliaan) dari Allah. menurutnya, ada tiga jenis ‘ishmah dalam Islam. Pertama, ‘ishmah al-anbiya’ (ishmah para Nabi) merupakan sesuatu yang wajib; baik berdasarkan argumentasi ‘aqliyyah seperti dikemukakan Mu’tazilah maupun berdasarkan argumentasi sam‘iyyah. Kedua, ‘ishmah al-awliya’ (merupakan sesuatu yang mungkin); tidak ada keharusan untuk menetapkan ‘ishmah bagi para wali dan tidak berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak juga termasuk ke dalam keyakinan agama (‘aqa’id al-din); melainkan merupakan karamah dari Allah kepada mereka. Allah melimpahkan ‘ishmah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Ketiga, ‘ishmah al-‘ammah, ‘ishmah secara umum , melalui jalan al-asbab, sebab-sebab tertentu yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan maksiat. 

Ibnu Araby Tentang Khatamul Auliya'


 Imam at-Tairmidzy al-Hakim, seorang filosuf agung dan Sufi terbesar di zamannya pernah menulis tentang Khatamul Auliya’ (Pamungkas para wali), sebagai konsep mengembangkan pamungkas para Nabi (Khatimul Anbiya’). Ibu
Araby dalam kitabnya yang paling komprehensif sepanjang zaman, Al-Futuhatul Makiyyah. Disanalah Ibnu Araby menjawab 155 pertanyaan dalam Khatamul Auliya’-nya At-Tirmidy. Dalam pertanyaan pertama berbunyi:

Berapakah Manazil (tempat pijakan ruhani) para Auliya’?
Ibnu Araby menjawab: Ketahuilah bahwa manazil Auliya’ ada dua macam. Pertama bersifat Inderawi (hissiyah) dan kedua bersifat Maknawy. Posisi pijakan ruhani (manzilah) yang bersifat inderawi, adalah syurga, walau pun di syurga itu ada seratus jumlah derajatnya. Sedangkan manzilah mereka di dunia yang bersifat inderawi adalah ahwal mereka yang seringkali melahirkan sesuatu yang luar biasa. Diantara mereka ada ditampakkan oleh Allah seperti Wali-wali Abdal dan sejenisnya. Ada juga yang tidak ditampakkan seperti kalangan Wali Malamatiyah serta para kaum ‘Arifin yang agung, jumlah pijakan mereka lebih dari 100 tempat pijakan ruhani. Setiap masing-masing tempat itu berkembang menjadi sekian tempat yang begitu banyak. Demikian pijakan ruhani mereka yang bersifat inderawi di dua alam (dunia dan akhirat).

Gerbang Cinta Para Wali



Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.

Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:

“Segala puji bagi Allah yang telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga. Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”

Uwais Al-Qarani



Meraup Hikmah Sang Nafas ar-Rahmandari dari Yaman
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi. “Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir
kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup. Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir.

Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala.

Sufi Agung Al-Hallaj



Antara Drama Ilahi dan Tragedi Penyingkapan Rahasia
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

an-Nifary



Pengelana Sufi dari Iraq 
Sufi besar ini lahir di Iraq. Ketinggiannya ilmunya melampaui Rumi dan al Hallaj. Ia adalah teoritikus sufi sekaligus sastrawan besar. Nama mistikus an-Nifary mungkin agak asing ditelinga kita.Tidak seperti al Bustami maupun al Hallaj, ia seakan kurang begitu terdengar. Padahal di mata ahli tasawuf pandangan-pandangan sufistiknya sangat berpengaruh. Para sufi sesudahnya banyak yang mengikuti jejak pria kelahiran Iraq ini.
Walau lirih, An-Nifary telah meninggalkan tapak-tapak yang tidak kalah penting dibanding al Hallaj maupun al Bustami.Bahkan dalam memaknai tasawuf an-Nifary dipandang lebih hati-hati dan tidak kontroversial. Meskipun sosoknya bisa dibilang agak sulit, tetapi dirinya menjadi tokoh panutan yang tiada banding.

Bernama lengkap Muhammad ibnu Abd Jabbar bin al Husain an-Nifary, dikenal tidak hanya sebagai seorang sufi saja. Dunia kesusastraan telah menempatkan dirinya dalam pada puncak kemasyhuran. Kehidupan tokoh ini sulit terlacak. Di duga ia dilahirkan di Basrah Iraq dengan tanggal dan tahun yang sulit ditemukan. Minimnya data disebabkan oleh pribadi an-Nifary. Sang sufi dikenal sebagai seorang yang suka menyendiri. Disamping itu kesehariannya lebih dikenal sebagai sosok pengelana.

Kesohor sebagai pengembara menjadikan pengamat sufisme Dr. Margareth Smith menjulukinya sebagai Guru Besar di Jalan Mistik Sifat itu membikin karya-karyanya jarang terlacak. Kalaupun sekarang ada, tak lebih dari jasa orientalis Inggris, Arthur John Arberry. Pengamat Islam ini berhasil menerjemahkan beberapa karyanya tahun 1934. Meski demikian tidak banyak karya-karyanya yang terlacak. Pengembaraan menjadi salah satu cirinya. Karya-karyanya juga penuh dengan perjalanan spiritual yang mengagumkan. Tidak kalah jauh

Abdullah Al-Haddad



Penulis Ratib Haddad, Abdullah Al-Haddad Berguru Pada 100 Ulama
ABDULLAH AL-HADDAD, penulis Ratib Alhaddad ini sudah akrab di telinga masyarakat Islam Indonesia, Malaysia, India, Pakistan dan negara-negara Islam di Timur Tengah. Karena Ratib-urutan (wirid, zikir)-nya yang ditulis sekitar empat abad yang lalu, sudah diamalkan oleh masyarakat Islam, baik pengikut paham Sunni maupun Syiah. Maklum, selain cerdas, dalam ilmu keislamannya, ia ternyata juga memiliki garis keturunan sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.

Nama lengkapknya adalah Al- Imam al-Sayid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad dilahirkan di pinggiran kota Tarim, sebuah kota bagian dari Hadramaut, Yaman Selatan, pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044H/1636 M.. Ia belajar pendidikan agama ke orang tuanya kemudian ke beberapa guru dengan pelajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu dasar keislaman lainnya. Setelah ia hafal Al-Quran dan ilmu-ilmu dasar keislaman tersebut ia kemudian melanjutkan pelajaran kepada ilmu-ilmu keislaman yang lebih tinggi dengan amat rajin, cerdas, dan berbakat.

Syamsuddin Sumatrani



Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.

Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya. 

Al-Qusyairy


E-mail
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairy. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:

1. An-Naisabury
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin 'Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir hayatnya.

2. Al-Qusyairy
Dalam kitab al Ansaab' disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu'jamu Qabailil 'Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka'b bin Rabi'ah bin Amir bin Sha'sha'ah bin Mu'awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.

Muhammad Ibnu Abbad



Sufi Pensyarah Al-HikamIbnu Abbad tidak dikelilingi oleh kisah-kisah legenda ajaib, seperti kebanyakan sufi yang lainnya... Kita mendapati dalam diri Ibnu Abbad sosok seorang sahabat yang
tenang tempat kita menaruh kepercayaan; seorang yang tidak membuat kita silau dengan berbagai gagasan agung atau membuat kita bingung dengan kecanggihan teosofis; seorang sahabat yang tidak memaksakan pikiran-pikirannya pada diri kita, tetapi justru menunggu sampai kita berangsur-angsur dapat memahami tanggung jawabnya yang tinggi atas kesejahteraan spiritual pembacanya. (Annemarie Schimmel)

Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah seorang tokoh sufi Tarekat Syadziliyah terkemuka kelahiran Spanyol pada abad ke-14. Ia lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak bukit di Spanyol, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah. Pada usia tujuh tahun ia sudah dapat menghafah al-Qur’an dan mulai mempelajari fiqih Madzhab Maliki. Pada tahun 1347, ia terpaksa hijrah ke Fez, Maroko, akibat tekanan dan penaklukan kembali orang-orang Kristen yang berhasil mengalahkan Sultan Mariniyah pada tahun 1340 dan membuat kehidupan kaum muslimin di Spanyol menjadi semakin sulit.

KH. Abdul Hamid



Semua Orang Merasa Paling Disayang
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember;
Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan ANGIN bergerak perlahan. Hening. Jam menunjuk pukul 01.00 lebih. Warga Pesantren Salafiyah, Pasuruan, dan sekitarnya lelap tidur nyenyak.
Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu menyeruak keheningan. Sejurus kemudian terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga kali. "Faisal, hari sudah malam. Waktunya tidur," terdengar teguran halus dari arah belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama sebenarnya), santri Salafiyah yang terkenal badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara anak santri lain yang ingin menggodanya, dengan meniru suara Kiai Hamid.
Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon mangga di depan rumah pengasuh pesantrennya itu. "Faisal, hari sudah malam, waktunya tidur," terdengar suara lembut lagi dari arah belakang anak yang suka melucu itu. Begitu lembut, selembut semilir angin tengah malam. "Sudahlah, kau tak usah usil. Aku tahu siapa kau," sergah Faisal sambil melempar lagi. Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak sabaran melihat buah mangga yang ranum itu.

Syeikh Zarruq



Syeikh Zarruq Ulama Sufi yang Cemerlang dari Fes

Namanya Abul Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa. Ia bernasab dengan kabilah Baranis dari Fes, Marokko, yang kemudian dinasabkan dengan Al-Burnusy. Panggilannya adalah Zarruq, dipanggil demikian karena kakeknya bermata biru.
Syeikh Zarruq dilahirkan hari Kamis ketika matahari terbit, 28 Muharram tahun 846 H, atau 1442 Masehi. Demikian disebutkan oleh Ummul Banin, seorang perempuan ahli fiqih yang shalihah, nenek dari Syeikh Zarruq. Setelah dua hari lahir, ia ditinggal wafat oleh ibundanya, di hari sabtu, dimana usia ibundanya waktu itu 23 tahun. Setelah itu ganti ayahandanya wafat, ketika usia jabang bayinya masih 5 hari. Usia ayahandanya 35 tahun.
Kata Syeikh Zarruq, ayahandanya memberi nama Muhammad, lalu sepeninggal ayahandanya oleh neneknya digannti dengan Ahmad. Hingga Allah memadukan dua nama mulia pada dirinya. "Aku memilih nama Ahmad karena tiga alasan," Syeikh Zarruq:
Pertama, saya senang dengan nama itu, disamping aku dibesarkan di pangkuan nenekku. Nenek seorang yang penuh kasih sayang, seorang yang sangat alim dan shalihah.
Kedua, nama itu begitu kuat, tidak berubah, bahkan tetap dengan nama itu sepanjang tahun.
Ketiga, nama ahmad adalah nama yang dikabargembirakan oleh Allah kepada Nabi Isa as, dan tidak pernah disebutkan sebelum Nabi dan Rasul sebelum Nabi kita Muhammad saw.

Mursyid yang Bersemayam di Pariaman


Syeikh Burhanuddin Ulakan dikenal sebagai mursyid tarekat Syathariyah. Ia penggagas munculnya surau di Minangkabau

Tiap bulan safar di Pariaman digelar upacara besar-besaran. Namanya Basapa.Ritual ini menurut Siddi Gazalba
adalah ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ulama ini dikenal sebagai salah seorang penyebar tarekat Syatariyyah dan Islam di wilayah Sumatera Barat.
Ziarah ini biasanya diselengga-rakan pada tanggal 10 safar dan diikuti oleh puluhan ribu peziarah.

Ziarah ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman merupakan aktivitas kaum Syatta-riyah yang sarat dengan unsur musikal. Bentuk-bentuk amalan  ibadah yang mengandung unsur-unsur musikal ini sekaligus juga dilakukan dalam aktivitas ibadah ritual keagamaan yang berlaku umum bagi masyarakat penganut aliran tarekat Syattariyah di Nagari Pitalah Bungo Tanjung seperti “Barzanji”, “manamat”, “Baratik”, dan “Badoa”.     
Syeikh Burhanuddin lahir bernama asli Pono. Tempat kelahirannya tidak banyak catatan. 

Nasehat Syeikh Bahauddin an-Naqsyabandy



  1. Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di dalam melaksanakan ‘ubudiyyah kepada Allah, secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan menjauhkan segala bid’ah dan segala kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan diam.
  2. Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah baginda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan ke jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari permulaan jalan hingga ke akhirnya, tiada yang aku lihat melainkan pengaruniaan-pengaruniaan dari Allah.
  3. Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-ilmu langit akan dibukakan kepada as-Salikin yang teguh menuruti jejak langkah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-Asunnah adalah cara yang paling utama untuk membuka pintu-pintu ini.
  4. Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara untuk mencapai Kebenaran (al-haqiqah), iaitu melalui muraqabah, musyahadah dan muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat makhluk karena seseorang itu senantiasa sibuk melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud musyahadah ialah memandang kecemerlangan nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud muhasabah ialah tidak mengizinkan segala ahwal yang telah diperoleh, menjadi batu penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi.
  5. Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum dengan amalan-amalan mereka. Mereka sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.
  6. Siapa yang mengambil daripada tangan kami, dan menuruti jejak langkah kami, dan mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun jauh, berada di Timur atau di Barat, maka akan kami minumkan dia dari Sungai Kecintaan, dan akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.
  7. Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik. Mengutamakan diri bisa mengakibatkan seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada bahaya. Kebaikan terletak di dalam bersahabat. Siapa yang mengikuti jalan ini akan memperolehi banyak manfaat dan barakah melalui pertemuan-pertemuan yang ikhlash dan yang benar.
  8. Siapa jua yang menziarahi kami tanpa memperolehi faedah yang mereka perlukan dibanding kami, sebenarnya, tiadalah mereka menziarahi kami. Mereka tidak akan merasa berpuas hati. Siapa yang mempunyai keinginan untuk berkata-kata dengan kami, kami tidak akan mendengar apa-apa. Dan siapa pula yang ingin mendengar daripada kami, kami tidak mempunyai apa-apa untuk diperdengarkan. Siapa yang menerima apa yang diberikan tanpa menganggapnya remeh, akan diberikan tambahan. Siapa pula yang tidak dapat menerima apa yang telah diberikan di sini, tidak akan berupaya menerima apa-apa pun, di mana-mana pun jua tempatnya.

    Ingatkah engkau kepada kisah seorang manusia yang meminta dirham (duit perak), tetapi dia telah diberikan dinar (duit emas), karena tidak ada dirham untuk diberikan kepadanya? Dia telah berkata, “Apalah gunanya benda ini? Aku tidak boleh membelanjakannya. Ini bukan dirham!”.
  9. Dari satu segi, setiap Insan Kamil itu adalah sama. Ini berarti yang apabila si murid sudah benar-benar sealiran dengan usaha tarekat ini, dia boleh berkomuniksai dengan para masayaikh terdahulu, sebagaimana mereka sendiri sering berkomuniksai sesama sendiri, menempuh jarak masa dan tempat.
  10. Tugas-tugas dan amalan-amalan sebuah tarekat membentuk satu unit. Kebenaran, cara mengajar dan para murid, membentuk rupa satu tangan, yang tidak dapat dilihat oleh si jahil. Karena dia hanya melihat ketidaksamaan jari-jari, dia tidak dapat melihat kepada pergerakan padu dari tangan itu (yakni pergerakan tangan sebagai satu entitas, sebenarnya terjadi dari pergerakan bersaingan tetapi berpadu dari jari-jari tangan itu).

KH Abdullah bin Nuh




Al-Ustadz, AI-‘Aalim, AI-Adiib, Azzaahid, AI-Mutawadli’, Al-Haliim, AI-Mujahid fi Sabilillah. KHR. Abdullah bin Nuh dilahirkan di kota Cianjur pada tahun: 1324 H/ 1905 M, putera dari seorang ibu bernama Nyi Rd. H. Aisyah dan dari seorang ayah bernama KHR. Nuh.

NASABNYA
HR. Abdullah putera KHR. Nuh; putera Rd. H. Idris, putera Rd. H. Arifin, putera Rd. H. Sholeh putra, Rd.H. Muhyiddin Natapradja, putra Rd. Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala), putra Rd. Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra Rd. AnaWiratanudatar I (Dalem Cikundul).

CIANJUR DAN I’ANAH
Cianjur ialah sebuah kota yang sejak dahulu telah terkenal para Ulama dan para pahlawannya, Para Ulama giat menyebarkan ilmunya. Tak kenal lelah dan tanpa mengharapkan upah. Para pahlawannya gigih, berani dalam melaksanakan perjuangan, tanpa pamrih gaji. Kesemuanya hanyalah mengharapkan kendhoan Allah swt dan Rohmat-Nya.

Pada tahun 1912 dikota Cianjur berdirilah sebuah Madrasah yang bernama Al-l’anah ; pendirinya ialah juragan Rd. H. Tolhah Al Kholidi, sesepuh Cianjur pada waktu itu. Dalam pembinaannya beliau dibantu oleh seorang Cucunya AI-Haafidh (yang hafal AI Qur’an) As-Sufi (yang menguasai kitab Ihya ‘Ulumuddin) K.H.R. Nuh, seorang ‘Aalim besar keluaran Makkah Almukarromah, murid seorang ulama besar yang ilmunya barokah, menyebar keseluruh dunia Islam, yang bermukim di kota Makkah AI-Mukarromah, yaitu : K.H.R. Mukhtar Al-thoridi, putra Jawa (Bogor)

Adab Zakat dan Sedekah


Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a   berkata:
“Adab mereka dalam berzakat, maka sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kepada mereka zakat, karena Allah telah
menjauhkan mereka dari harta dunia yang harus dibayar zakatnya. ”
Dikisahkan dari Mutharraf bin Abduliah bin asy-Syukhair - rahfmahuliah -yang mengatakan, “Nikmat Allah yang diberikan kepadaku, dengan menjauhkan diriku dari dunia jauh, lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan kepadaku dengan segaia pemberian-Nya.”
Demikian juga bagi kaum Sufi yang lain, dimana mereka meng anggap, bahwa nikmat Allah yang diberikan kepada mereka dengan menjauhkannya dari dunia merupakan nikmat yang lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan kepada mereka dengan memberinya dunia meskipun itu dalam jumiah yang sangat besar.

Adab Sang Fakir


Syeikh Abu Nashr as Sarraj
Al-Junaid rahimahullah berkata: "Kefakiran adalah lautan bala' (bencana). Sementara seluruh bencananya adalah kemuliaan." Al-Junaid rahimahullah juga berkata: "Jika ilmu seorang
fakir menguat maka cinta (mahabbah)nya akan melemah. Dan jika ilmunya melemah maka cintanya akan menguat. Sedangkan kebijakan hukum seorang fakir seharusnya ilmunya berada di atas cintanya."

Saya mendengar ad-Duqqi ahimahullah yang saat itu berada di Damaskus, berkata: Saya mendengar Abu Bakar az Zaqqaq rahimahullah di Mesir berkata, "Selama empat puluh tahun saya berteman dengan orang-orang fakir. Saya bergaul dengan mereka, tapi saya tidak pernah melihat satu pemandangan pun yang lebih sejuk dari keadaan mereka yang saling mencintai antara satu dengan yang lain. Maka barangsiapa tidak memiliki taqwa dan wara' (jaga diri dari syubhat) dalam hal ini jelas la akan makan barang yang mesti haram."
Dikisahkan dari Abu Abdillah al Jalla' rahimahullah yang berkata, "Barangsiapa dalam kefakirannya tidak dibarengi dengan wara', tentu la akan makan barang haram murni, sedangkan ia tidak menyadarinya."

Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah rahimahullah yang berkata, "Adab seorang fakir yang jujur dalam kefakirannya ada tiga: Tidak meminta di kala la membutuhkan, tidak menolak jika diberi dan tidak menyimpan untuk waktu berikutnya ketika ia mengambil."
Sebagian kaum Sufi berkata, "Adab seorang fakir yang jujur ada tiga: Tidak meminta, tidak membantah dan jika dibantah akan diam."
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah rahimahullah yang berkata, "Seorang fakir memiliki tiga kewajiban: Menjaga rahasia hatinya, menunaikan apa yang diwajibkan kepadanya dan menjaga kefakirannya."

Al-Junaid rahimahullah berkata, "Segala sesuatu akan sanggup dilakukan oleh seorang fakir kecuali kesabarannya atas waktu hingga habis masanya."
Ibrahim al-Khawwash rahmahullah berkata, Ada dua belas sifat yang menjadi ciri seorang fakir (yakni para kaum Sufi), baik ketika sedang di rumah maupun ketika sedang bepergian:
  1. Hendaknya la selalu merasa yakin dan tenang (thuma'ninah) dengan apa yang Allah janjikan;
  2. Hendaknya tidak berharap pada makhluk;
  3. Menyatakan perang dan melawan terhadap setan;
  4. Selalu mendengar perintah Allah;
  5. Memiliki rasa sayang kepada semua makhluk;
  6. Sanggup memikul dan bersabar atas semua tindakan makhluk yang menyakitkan dirinya;
  7. Tidak meninggalkan nasihat untuk semua umat Islam;
  8. Hendaknya selalu berendah hati dalam masalah kebenaran;
  9. Selalu sibuk dalam ma'rifat Allah;
  10. Untuk selamanya dalam kondisi suci;
  11. Kefakirannya hendaknya menjadi modal utama; dan
  12. Selalu rela (ridha) terhadap apa yang datang dari Allah; sedikit atau banyak, disukai atau tidak. Semuanya adalah satu, yakni dari Allah. Mereka harus ridha kepada-Nya, bersyukur dan percaya kepada-Nya.
"Sebagian kaum Sufi berkata, "Barangsiapa meminta kefakiran karena ingin memperoleh pahala kefakiran, maka la akan mati dalam kondisi fakir."

Sebagian kaum Sufi yang lain berkata, "Seorang fakir, apabila banyak akal maka perilaku baiknya akan hilang."
 
Syekh Abu Nashr as-Sarraj rahmatullah berkata:
Di antara adab para fakir Sufi dalam menyikapi apa yang diberikan Allah kepada mereka dengan tanpa terlebih dahulu meminta dan berharap hendaknya tidak mengucapkan, "Ini milikku, dan ini milik Anda." Sementara dalam pembicaraan mereka tidak boleh ada kata-kata, "Aku adalah untuk Anda, sementara Anda bukan untukku. Aku berbuat demikian semoga menjadi demikian. Aku tidak melakukan demikian, semoga demikian."
Dikisahkan dari Ibrahim bin Syaiban rahmahullah yang berkata, "Kami tidak pernah bersahabat dengan orang yang mengatakan, 'Ini adalah sandalku dan tempat minumku'."
Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi dimana la adalah guru al- Junaid berkata, Aku pernah mendatangi sekelompok orang orang fakir di Basrah. Kemudian mereka menghormati dan meng agungkanku. Suatu saat aku pernah mengatakan kepada salah seorang di antara mereka, Dimana sarungku? Maka sejak saat itu aku jatuh dan rendah dalam pandangan mereka."

Abu Ishaq Ibrahim bin al-Muwallad ar-Raqqi berkata, "Saya pernah masuk di Tharasus. Kemudian dikatakan kepadaku, "Di sini ada sekelompok orang dari saudara-saudara Anda yang ber kumpul di suatu rumah. "Kemudian saya masuk menemui mereka, dan saya melihat ada tujuh belas orang fakir yang sehati."
Dikatakan kepada Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi rahima hullah, "Atas dasar apa Anda membangun madzhab Anda?" Kemudian la menjawab, Atas dasar tiga perkara:
  1. Kami tidak pernah menuntut manusia atas hak-hak kami;
  2. Kami menuntut diri kami sendiri untuk menunaikan hak-hak orang lain; dan
  3. Memastikan diri kami berbuat kealpaan terhadap semua yang kami lakukan.
Sebagian kaum Sufi berkata, Kami membangun landasan dasar madzhab kami atas tiga perkara: 
  1. Selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan;
  2. Memeluk erat kefakiran; dan
  3. Belas-kasih pada semua makhluk.
Sementara kaum Sufi yang lain berkata, "Jika Anda melihat seorang fakir telah merosot dari tingkatan hakikat menuju ke tingkatan ilmu (syariat), maka Anda perlu tahu, bahwa ia telah menghapus keinginan kuatnya dan melepas tali pengikatnya." Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, "Bukan termasuk adab kaum fakir (kaum Sufi) orang yang masih memiliki sebab (sarana) yang akan dirujuknya kembali ketika la membutuh­kannya, atau memiliki dua tangan untuk melakukan suatu peker jaan tatkala ia menghendaki, atau lisan yang ia jadikan alat meminta tatkala ia lapar, atau keinginan kuat yang la akan pergi kepada orang lain ketika dalam kondisi kesulitan. Dimana semua ini bagi mereka merupakan sarana dan simpanan ketika dalam kondisi krisis dan sarana yang bisa memberi."

Al Junaid rahimahullah berkata, "Jika Anda berjumpa dengan orang fakir maka sambutlah dengan penuh kasih, dan jangan sambut la dengan ilmu. Sebab kelembutan dan kasih sayang akan penghiburnya, sedangkan ilmu akan membuat gelisah."

Sama' (Mendengar lagu dan Syair) II


Dikisahkan, bahwa Nabi Daud as. ketika sedang membaca kitab Zabur, manusia dan jin, burung dan binatang buas selalu menyimaknya. Rasulullah Saw bersabda tentang Abu Musa al-Asy’ary “Dia telah diberi seruling dari seruling Daud.”
Dan Mu’adz berkata kepada Rasulullah Saw, “Bila engkau tahu, engkau mendengar, niscaya aku akan memperindahkannya untukmu dengan perhiasan yang benar-benar indah.”

Abu Bakr Muhammad ad-Dinawary ad-Duqqy mengisahkan: “Aku sedang berada di padang pasir, kebetulan aku berjumpa dengan kabilah Arab. Salah seorang di antara mereka menjamuku. Kulihat di sana ada seorang budak berkulit hitam sedang diikat dan aku juga melihat beberapa unta yang mati di halaman rumah. Budak itu berkata padaku,
“Anda malam ini sebagai tamu. Dan Anda di mata tuanku sungguh mulia. Karena itu tolonglah aku. Dia pasti tidak bisa menolak.”

Maka, kukatakan kepada pemilik rumah,
“Aku tak mau menyantap makananmu, kecuali Anda mau melepaskan ikatan pada budak ini.”
Maka tuan si budak itu menjawab, ‘Si budak ini telah memiskinkan dan menghancurkan hartaku.’ 

Sama' (Mendengar lagu dan Syair) I


Allah Swt berfirman: " Sebab itu sampaikanlah berita-berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik dantaranya." (Q.s.Az-Zumar:7-8).
Huruf alif dan laam pada kata al-Qaul di atas mengandung penger tian umum dan menyeluruh (ta’mim wal  istighraq). Sedangkan dalil di atas menekankan bahwa Allah swt. Memuji kepada mereka karena mengikuti kata-kata paling baik.
Allah swt. berfirman:
"Maka, mereka berada dalam taman surga, senantiasa bergembira." (Q.s. Ar-Ruum:15).

Dalam sebuah tafsir, ditegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan dalilnya Sama' (mendengarkan dan menyimak).
Ketahuilah, bahwa mendengarkan (Sama') syair dengan nada yang indah, apabila pendengar tidak meyakini, syair tersebut tidak menjurus pada hal-hal yang haram, dan tidak mendengarkan sebagai obyek yang tercela dalam syariat, tidak pula menarik pada emosi hawa nafsu, tidak pula memberi peluang pada nafsunya, maka penyimakan tersebut diperkenankan secara umum.

Adab Dalam Bersahabat



Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Al-Junaid rahimahullah berkata: Dikisahkan dari sekelompok syekh Sufi, dari Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah - yang berkata, “Kami tidak pernah bersahabat dengan orang yang mengatakan  ini sandalku dan ini tempat air minumku.” Ada seseorang berkata kepada Sahl bin Abdullah- rahimahullah, “Sesungguhnya aku ingin bersahabat dengan Anda.”
Maka Sahl berkata kepadanya, “Jika salah seorang di antara kita mati maka yang lain akan bersahabat dengan siapa?” Orang tadi menjawab, “Allah!!”
Kemudian Sahl berkata, “Jika demikian, maka bersahabatlah dengan-Nya sejak sekarang.”

Seseorang berkata kepada Dzun-Nun al-Mishri - rahimahullah, “Dengan siapa aku berteman?”
Dzun-Nun menjawab, “Dengan Siapa pun yang apabila Anda sakit Dia menjengukmu, dan ketika Anda berbuat dosa Dia bisa menerima tobatmu.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Semua sahabat, yang Anda ber kata kepadanya, `Tunaikan untuk kami.’ Kemudian la bertanya, `Ke mana?’ Maka ia bukanlah seorang sahabat.”

Dan Dzun-Nun - rahimahullah yang berkata, “Janganlah Anda bersahabat dengan Allah kecuali kecocokan (setuju dengan segala kebijakan-Nya), janganlah Anda bersahabat dengan makh luk kecuali dengan saling memberi nasihat, janganlah Anda ber muamalah dengan nafsu kecuali dengan cara menentangnya, dan jangan pula dengan setan kecuali Anda melawan dan memerangi nya.”

Ahmad bin Yusuf az-Zujaji - Rahimahullah - berkata,
“Dua orang yang bersahabat laksana dua cahaya. Ketika keduanya ber kumpul maka akan melihat apa yang sebelumnya mereka tidak pernah melihatnya.”
Perselisihan adalah pangkal perpecahan. Dan ini adalah godaan setan yang sangat halus dalam usaha memisah persahabatan dua orang yang bersahabat hanya demi Allah.

Abu Said al-Kharraz - Rahimahullah - berkata, “Saya ber sahabat dengan para Sufi selama lima puluh tahun dan tak pernah terjadi perselisihan antara kami dengan mereka.” Kemudian ia ditanya, “Mengapa bisa demikian?” Maka la menjawab, “Sebab aku bersama mereka pada satu jiwa.”

Al Junaid-rahimahullah-berkata, “Sungguh saya ditemani seorang fasik yang berakhlak balk adalah lebih saya senangi dari pada orang yarag pandai membaca al-Qur’an namun jelek akhlak nya.”
Ia juga berkata, “Saya pernah melihat orang botak yang selalu diam dan tak banyak bicara bersama Abu Hafsh an-Naisaburi - rahimahullah. Kemudian saya bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa orang ini?’ Mereka menjawab, ‘la adalah orang yang selalu menemani Abu Hafsh dan melayani kami. la telah menginfakkan seratus ribu dirham kepada Abu Hafsh dari kantongnya sendiri, kemudian la berhutang seratus ribu lagi kepada orang lain yang kemudian la infakkan kepadanya. Itu pun Abu Hafsh tidak mem perkenankan la berbicara satu kalimat pun.”

Abu Yazid al-Bisthami - rahimahullah - berkata,
“Saya pernah berteman dengan Al as-Sindi. Saya selalu mengingatkan kewajiban yang la lakukan. Sementara la mengajariku Tauhid secara praktis.”

Abu Utsman berkata, “Aku pernah berteman dengan Abu Hafsh, waktu itu aku masih sangat muda. Kemudian ia meng usirku dan berkata, `Jangan duduk di sisiku.’ Maka aku tidak ingin mengimbangi ucapannya dengan berpaling darinya. Kemudian aku pergi ke belakang sambil berjalan, sementara wajahku tetap
kuhadapkan ke arahnya, sampai aku tidak terlihat lagi olehnya. Aku berniat akan menggali sumur untuk diriku sendiri di depan pintunya. Kemudian aku turun dan duduk di dalamnya kemudian tidak akan keluar lagi dari sumur tersebut kecuali bila diizinkan nya. Ketika la melihat kemauanku tersebut maka la mendekatiku dan menerimaku kemudian aku dijadikan salah seorang sahabat nya yang paling dekat sampai la wafat.”

Saya mendengar Ibnu Salim berkata, “Saya bersahabat dengan Sahl bin Abdullah - rahimahullah - selama enam puluh tahun. Suatu ketika saya pernah bertanya kepadanya, `Saya telah mela- yanimu selama enam puluh tahun, tapi tidak sehari pun engkau pernah memperlihatkan saya orang-orang yang bermaksud datang kepadamu, dimana mereka adalah para wali Allah dan abdal’ Kemudian la menjawab, `Bukankah engkau sendiri yang mem persilakan mereka masuk menemuiku setiap hari? Apakah kema rin engkau tidak pernah melihat seorang yang memakai sarung dan siwak dimana la berbicara denganmu? la adalah termasuk dari mereka’.”

Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah - berkata, “Kami me nemani Abu Abdillah al-Maghribi - rahimahullah. Pada saat itu kami masih sangat muda. la bepergian bersama kami melalui da ratan dan gurun pasir. Ia juga ditemani seorang syeikh bernama Hasan, dimana la telah menemaninya selama tujuh puluh tahun. Jika salah seorang di antara kami melakukan kesalahan, dan dirl syeikh terjadi perubahan, maka kami minta bantuan kepada syeikh Hasan ini, sehingga la bisa mengembalikan kami pada kondisi sebelumnya.”

Disebutkan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - yang suatu ketika la pernah berkata kepada sebagian sahabatnya, “Jika Anda termasuk orang yang takut binatang buas maka janganlah Anda menemaniku.”

Yusuf bin al-Husain ar-Razi berkata: Saya pernah berkata kepada Dzun-Nun al-Mishri, “Siapa yang pantas aku jadikan teman?” la menjawab, “Orang yang Anda tidak pernah menyem-bunyikan darinya sesuatu yang Allah mesti mengetahuinya dari Anda.”
Sementara itu, Ibrahim bin Adham - rahimahullah - jika ia ditemani oleh seseorang, maka la mengajukan tiga syarat:
  1. Per sahabatan adalah suatu pengabdian; 
  2. Memberi tahu kepadanya; dan 
  3. Tangannya dalam segala anugerah dunia yang dibukakan Allah kepadanya hendaknya seperti tangannya sendiri. Kemudian ada seseorang dari sahabatnya berkata, “Aku tidak sanggup melaku kannya.” Maka Ibrahim bin Adham berkata kepada sahabatnya, “Saya kagum terhadap kejujuran Anda.” Dan Ibrahim bin Adham adalah seorang Sufi yang bekerja mengawasi kebun atau ikut me manen hasil pertanian dan kemudian hasilnya la bagikan kepada para sahabatnya.

Abu Bakar al-Kattani - rahimahullah - berkata, “Pernah ada seseorang menemaniku. Padahal dalam hatiku ada beban yang sangat berat. Kemudian suatu ketika aku memberinya pakaian, dengan harapan agar beban berat yang ada dalam hatiku bisa hi lang. Namun tak kunjung hilang. Maka pada suatu hari aku mem bawanya ke rumah atau ke suatu tempat, dan aku katakan padanya, `Letakkan kaki Anda di atas pipiku.’ Namun la tidak mau melaku kannya. Kemudian aku meyakinkannya lagi, Anda harus melaku kan hal itu.’ Akhirnya la mau melakukannya, dan apa yang menjadi beban berat di hatiku akhirnya hilang.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Kisah ini saya dengar dari ad-Duqqi. Dan dari Syam saya bermaksud pergi ke Hijaz sehingga saya bisa bertanya langsung kepada Abu Bakar al-Kattani tentang kisah ini.

Abu All ar-Ribathi - rahimahullah - berkata:
Aku pernah menemani Abdullah al-Marwazi - rahimahullah. Sebelum aku berteman dengannya, la telah memasuki daerah gurun pasir tanpa membawa bekal apa pun. Ketika saya menemaninya la berkata kepadaku, “Mana yang lebih Anda sukai, Anda yang menjadi seorang pimpinan (amir) ataukah aku?”
Maka aku menjawabnya, “Anda-lah yang jadi pemimpin.”
Maka la berkata, “Jika demikian, maka Anda harus taat.” Aku pun menjawabnya, “Ya!”
Kemudian la mengambil keranjang (tas) dan mengisinya bekal kemudian ia panggul di punggungnya.
Ketika aku berkata padanya, “Berikan barang itu padaku biar aku yang membawanya.”

Maka la berkata sembari bertanya, “Bukankah aku yang men jadi pemimpin? Sehingga Anda harus taat kepadaku.” Kemudian pada suatu malam hujan mengguyur kami hingga pagi hari. Aku duduk di sebelahnya, sementara la berdiri lebih tinggi di atas kepalaku dengan mengenakan pakaian tebal dan berusaha menghalangi air hujan agar tidak membasahiku. Maka aku berkata sendiri dalam hatiku, “Andaikan aku mati dan tidak pernah berkata kepadanya, `Andalah yang menjadi pemimpin.

Kemudian la berkata, “Jika ada orang yang ingin menemani Anda maka temanilah dia sebagaimana Anda melihatku mene mani Anda.”

Sahl bin Abdullah -rahimahullah - berkata, “Hindarilah berteman dengan tiga kelompok manusia: Para penguasa diktator yang lalai, orang-orang pandai membaca al-Qur’an yang suka mencari muka dan para Sufi yang bodoh.”

Inilah cara mereka bersahabat antara satu dengan yang lain dalam makna yang telah kami sebutkan kisah-kisahnya. Semoga yang sedikit ini bisa menjadi cukup bagi mereka yang cerdik dan berakal. Semoga Allah memberi taufik kepada kita.
 

Adab Mencari Ilmu Menurut Kaum Sufi



Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Syeikh ABu Nashr as-Sarraj-Rahimahullah  berkata : Saya mendengar Ahmad bin Ali al Wajihi berkata: Saya mendengar Abu Muhammad al Jariri - rahimahullah - berkata, “Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat.”

Abu Yazid - rahimahullah - berkata, “Barangsiapa tidak bisa mengambil manfaat dari diamnya orang yang berbicara maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraannya.”
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Mereka (kaum Sufi) sangat tidak suka bila lisan melampaui keyakinan hati.”

Disebutkan bahwa Abu Muhammad al Jariri berkata, “Keadilan dan adab ialah hendaknya orang yang mulia tidak membicarakan ilmu ini (tasawuf sehingga Ia ditanya.” Abu Ja’far al-Faraji, sahabat karib Abu Turab an-Nakhsyabi - rahimahullah - berkata, “Aku tinggal diam selama dua puluh tahun tidak bertanya suatu persoalan kecuali bila aku mantapkan terlebih dahulu sebelum aku menyatakan dengan lisanku.”

Abu Hafsh - rahimahullah - berkata, “Tidak dibenarkan berbicara kecuali bagi seseorang yang apabila ia diam malah mendapatkan siksa.”

la juga berkata, ‘Ada seseorang datang pada Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al Jalla’ - rahimahullah - yang menanyakan tentang masalah tawakal. Saat itu ada sekelompok orang (jamaah), maka ia tidak menjawabnya dan masuk ke dalam kamarnya, kemudian la keluar lagi dengan membawa seikat kain yang berisi empat dananiq (mata uang) yang diberikan kepada mereka. Kemudian la berkata kepada mereka, `Dengan uang ini silakan kalian membeli sesuatu.’ Kemudian ia baru mau menjawab apa yang ditanyakan orang tersebut. Kemudian ia ditanya, `Mengapa ia melakukan hal itu?’ Maka la menjawab, Aku malu pada Allah untuk menjawab masalah tawakal sedangkan aku masih memiliki empat dananiq’.”