Siapa Ulama Penerus Nabi Muhammad SAW ?

Allah SWT Berfirman : “Aku akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu”. Nabi SAW bersabda : “Ulama adalah pewaris-pewaris Rasulullah SAW”
Siapa ulama penerus Nabi Muhammad SAW?
Di dalam Al-Qur`an dan Hadits di atas banyak pendapat bahwa Ulama adalah penerus Nabi Muhammad SAW yang diteruskan oleh sahabat-sahabatnya, diantaranya :
  1. Sayyidina Abubakar Assiddiq RA
  2. Sayyidina Umar bin Khatab RA
  3. Sayyidina Ustman bin Affan RA
  4. Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA
Setelah kewafatan para sahabat periwayat-periwayat hadits dan Al-Qur`an diteruskan oleh para ulama, diantaranya :
  1. Imam Maliki
  2. Imam Hambali
  3. Imam Syafi`i
  4. Imam Hanafi
Seluruh Imam ini penerus Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan tentang Allah dan Rasulullah SAW. Sampai hari ini, ajaran merekapun dilanjutkan oleh pengikut-pengikut mereka. Terutama di negeri kita Indonesia kebanyakan pengikut Imam Syafi`i.
Siapa Imam Syafi`i?
Beliau seorang ahli Fiqih, Tauhid dan Tasawuf. Hampir kurang lebih 150 Fak ilmu beliau kuasai. Karena kepintarannya beliau dijuluki Imam. Ajaran beliau di Indonesia khususnya mengajak kepada umat Rasulullah SAW untuk :
  1. Tawakal (Menyerahkan diri kepada Allah SWT)
  2. Qana`ah (Menerima sifat seadanya yang datang dari Allah SWT)
  3. Wara’ (Berhati-hati didalam menjalankan agama)
  4. Yakin (Percaya kepada Allah SWT dan apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW)
Beliau menceritakan tentang Tawakal dalam kitab Tauhidnya, Qana`ah dalam kitab Fiqihnya, Wara' dalam kitab Tasawufnya dan Yakin dalam kitab Dzikirnya. Kesemua ini ilmu-ilmu beliau digunakan oleh para Wali-Wali Songo yang ada di Indonesia dan dibawa olehnya, diantara dzikir-dzikir yang dibawa oleh Imam Syafi`i dan para Wali Songo yang diteruskan olehnya :
1. Pembacaan Dzikir-dzikir shalat sunah maupun shalat wajib.
2. Pembacaan sejarah ringkas Nabi Muhammad SAW
Ajaran beliau diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang dibawa oleh para Wali Songo sampai ajaran ini dinamakan Ahlu Sunnah Wal Jama`ah yang diteruskan oleh Ulama-Ulama, Kyai dan para Habaib pada tahun 600 Hijriyah.
Ulama-ulama, kyai diseluruh Indonesia yang ber-Mahzab Imam Syafi`i menyebar di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi khususnya kota Jakarta bersama para Habaib. Jadi ajaran Imam Syafi`I telah lebih dahulu masuk ke negeri Indonesia sebelum ajaran-ajaran lain yang sudah demikian banyak di negeri Indonesia ini. Ajaran Imam Syafi`i lebih dikenal dekat oleh masyarakat dalam bentuk :
  1. Pembacaan Yasin dan Tahlil
  2. Pembacaan Ratib
  3. Pembacaan Maulid
  4. Pembacaan Manaqib Tuan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
  5. Majlis-majlis ta`lim kitab kuning (penafsiran Al-Qur`an dan Hadits)
  6. Memakai Usholi jika shalat
  7. Memakai Qunut jika shalat Shubuh.
Dan masih banyak lagi yang lain yang berdasarkan Al-Qur`an dan Hadits Rasulullah SAW yang beliau bawa. Maka inilah yang disebut penerus-penerus ulama Rasulullah SAW yang wajib  kita sebagai umat Islam tidak terpecah belah, ajaran-ajaran yang baru yang akan melupakan kita kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW dan para ulama yang membawa jasa seperti Imam Syafi`i dan para Wali Songo.
Demikianlah pengertian ulama-ulama Rasulullah yang wajib kita contohi dan kita ikuti agar kita selamat dari azab  Allah SWT dan azab yang ada di dunia dan di akherat. Jadikanlah perbedaan itu bukan perpecahan karena Nabi SAW  bersabda : “Apabila diakhir hayatnya manusia mengucapkan kalimat Laa IlahaIlallah maka dia terhitung manusia yang diridhoi Allah dalam khusnul khotimah”. Karena Allah SWT berfirman : ”Tidak ada pemaksaan di dalam agama”
Ummat Islam harus waspada terhadap hasutan dan usaha-usaha (sisa-sisa usaha) penjajah dan antek-antek Yahudi yang tidak menyenangi/ menghendaki kebesaran Islam dan Muslimin dan berupaya menghancurkan serta menghapuskan kawan-kawan Muslimin yang menjadi tujuan serta program dari mereka (Yahudi), Allah SWT berfirman : “Dan tidak akan pernah ridho orang-orang Yahudi dan Nasrani sampai kita mengikuti agama mereka”(QS Al-Baqarah 120). Dengan bermacam-macam dan berganti-ganti cara serta berusaha menunggangi/ memperalat orang Islam itu sendiri untuk memutuskan jalur silaturahmi ummat dengan Nabinya, Ulamanya dan Pemimpinnya baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.
Himbauan :
Carilah jalan yang telah bersambung kepada Al-Qur`an, Hadits, Ijma' dan Kias (contoh-contoh agama), melalui silsilah atau urutan ilmu yang tidak terputus dari Shalafuna Sholeh hingga kepada Rasulullah SAW, maka niscaya kita akan selamat di dunia dan di akhirat.

Al-Quran Sudah Tak Ada di Hati Kita


“Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa isi Al-Quran sudah tidak ada lagi di hati kita, di hati kebanyakan kaum muslimin.”
Kali itu, Habib Abdurrahman Basurrah, salah seorang penguru Rabithah Alawiyah, Jakarta, membuka rapat dengan komentarnya yang menarik tentang aksi pembakaran Al-Quran yang telah memicu kemarahan umat Islam di berbagai belahan dunia.

Katanya, televisi Al-Jazeera, stasiun televisi Qatar, salah satu negara di Timur Tengah, menayangkan interview antara Al-Jazeera dengan beberapa ulama dari Timur Tengah, mengenai rencana pembakaran Al-Quran oleh seorang pendeta asal Florida, Amerika Serikat, Terry Jones, pada 11 September lalu. Meski rencana tersebut urung dilakukannya, namun telah menimbulkan aksi protes dari umat Islam di berbagai belahan dunia. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pembakaran tersebut memang tindakan pelecehan terhadap umat Islam, namun tidak perlu ditanggapi secara berlebihan, apalagi sampai merugikan pihak lain.

Salah seorang ulama yang berasal dari Syiria itu mengatakan, “Kejadian tersebut merupakan refleksi buat kita, kaum muslimin. Kita jangan terlalu emosional menanggapi masalah tersebut. Tapi yang perlu kita perhatikan adalah bahwa isi Al-Quran sudah tidak ada lagi di hati kita, di hati kebanyakan kaum muslimin. Al-Quran yang akan dibakar itu kan cetakannya, mushafnya. Kita bisa mencetak lagi sebanyak-banyaknya. Tapi jika Al-Quran sudah tidak ada di hati kita, di hati kebanyakan kaum muslimin, itu yang harus kita permasalahkan....”

Apa yang dikatakan ulama dari Syiria itu benar. Kejadian tersebut juga merupakan cambuk bagi kaum muslimin untuk lebih intropeksi diri, sudahkah kita menjalankan isi Al-Quran? Marilah kita kembali kepada Al-Quran, mengkajinya, menghafalnya, dan mengamalkannya, sehingga setiap tindak tanduk kita diwarnai oleh isi Al-Quran. Meski mushafnya hilang dari muka bumi, namun Al-Quran tetap kekal di hati kita, di setiap aliran darah dan hembusan nafas kita. Bahkan Allah pun telah berjanji, bahwa Dia-lah yang akan menjaganya.

Wali - Wali Allah SWT

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللهَ قَالَ
: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ ( صحيح البخاري )
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Allah subhanahu wata'ala berfirman:
"Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku kumandangkan perang terhadapnya. Tidaklah seorang hamba mendekatiKu dengan sesuatu yang Aku cintai dari perbuatan yang Aku wajibkan padanya dan ia masih terus mendekatiKu dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memegang, Aku menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya. Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanKu ketika hendak merenggut jiwa hambaKu yang beriman, dia membenci kematian sedang aku tak suka menyakitinya." ( Shahih Al Bukhari )


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ الْجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ هَدَاناَ بِعَبْدِهِ الْمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ ناَدَانَا لَبَّيْكَ ياَ مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلّمَّ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَالْحَمْدُلله الَّذِي جَمَعَنَا فِيْ هَذَا الشَّهْرِ اْلعَظِيْمِ وَفِي هَذِهِ الْجَلْسَة...
Limpahan puji kehadirat Allah, Maha Raja langit dan bumi, Maha Penguasa tunggal dan abadi, Maha melimpahkan keluhuran dan kebahagiaan bagi hamba-hambaNya di setiap waktu dan saat, Maha melimpahkan kelembutan dan kenikmatan yang tiada henti-hentinya kepadaku dan kalian, tidak satu detik pun rahmatNya terhenti untuk kita, tidak satu detik pun kasih sayang-Nya terhenti untuk kita terkecuali terus mengalir kepada kita, kenikmatan melihat, kenikmatan mendengar, kenikmatan berbicara, kenikmatan bergerak, kenikmatan berfikir, kenikmatan merenung, kenikmatan sanubari dan kenikmatan-kenikmatan luhur lainnya, dan kenikmatan-kenikmatan itu terus berlanjut, kenikmatan bernafas, kenikmatan penggunaan jantung dan seluruh tubuh kita, kenikmatan cahaya matahari, kenikmatan gelapnya malam, kenikmatan indahnya pemandangan, kenikmatan udara dan berjuta-juta kenikmtan lainnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman :
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
( ابراهيم : 34 )

Kenikmatan Memandang Wajah Habaib



Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah lahir pada tanggal 8 Juni 1982 di kota Solo, dari pasangan Habib Umar bin Agil bin Umar Mauladawilah (asal kota Malang) dan Syarifah Sidah binti Abdullah bin Husen Assegaf (asal kota Solo).

Dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Februari 2007, ayah Habib Abdul Qadir wafat. Rencananya, sang ayah pada musim haji tahun ini akan berangkat haji. Tapi Allah SWT telah memanggilnya terlebih dahulu.

Dulu, saat orangtuanya menikah, yang menikahkan adalah Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah.

Setelah dikaruniai seorang putra, Habib Umar bin Agil Mauladawilah (ayah Habib Abdul Qadir, penulis buku ini) menemui Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan menyampaikan kabar tentang kelahiran putra pertamanya. Saat itu, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf-lah yang memberikan nama si anak yang baru lahir tersebut. Nama yang diberikan adalah sebagaimana namanya sendiri. Yaitu, Abdul Qadir.

Masa usia sekolah Habib Abdul Qadir dijalani seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Ia masuk Sekolah Dasar Negeri 7 Sukun, Malang, dan kemudian melanjutkannya ke SMP Negeri 12 Malang. Selepas jenjang sekolah menengah, ia melanjutkan pendidikannya pada Madrasah Aliyah Daaruttauhid Malang sambil mondok di Pondok Pesantren Daruttauhid, yang pada masa itu masih di bawah asuhan Ustadz Abdullah bin Awwadh Abdun. Ia menyelesaikan pendidikan aliyahnya ini pada tahun 2000.

Setelah selesai pendidikan MA, ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia masih meneruskan pendidikan diniyah di Pondok Pesantren Daruttauhid tersebut hingga tahun 2001, yaitu setelah gurunya, Ustadz Abdullah Abdun, wafat.

Sebelum masuk pondok, ia lebih fokus pada pendidikan umum dan sama sekali belum terpikirkan akan bergerak di bidang keagamaan. Kegiatan yang merupakan kegemarannya mengumpulkan dokumentasi di seputar habaib baru dimulai sejak tahun 1997, saat ia masuk Pesantren Daruttauhid.

Saat tinggal di pesantren tersebut, ia mulai merasakan adanya kenikmatan tersendiri saat berkumpul dan duduk dalam satu majelis bersama para habib. Ia pun kemudian mulai turut hadir pada acara-acara Maulid Nabi SAW ataupun haul para habib di sekitar Jawa Timu.
Seingatnya, setelah ia tinggal di Daruttauhid, acara yang pertama kali dihadirinya adalah haul Habib Shalih bin Muhsin Al-Hamid, Tanggul, Jember, Jawa Timur.

Dalam majelis-majelis ilmu seperti itu, baik di dalam pesantren sendiri maupun di acara-acara perayaan seperti acara haul, hatinya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ia merasakan kenikmatan bathiniah yang sukar dilukiskan.

Benarlah apa yang disebutkan dalam kalam Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi yang termaktub pada kitab Al-Manhaj As-Sawi, karya Habib Zen bin Ibrahim Bin Smith, “Duduk satu saat bersama orang-orang shalih, lebih bermanfaat bagi seorang hamba dari seratus atau seribu kali ‘uzlah (menyendiri, menyepi, menghindarkan diri atau mengasingkan diri dari lalu-lalangnya kehidupan duniawi demi penyucian diri – Red.).” Saat itu ia juga merasakan kenikmatan tersendiri kala memandang teduhnya wajah para habib yang datang pada acara-acara yang ia hadiri. Di hatinya pun mulai tumbuh rasa suka memandang wajah mereka, meskipun hanya lewat lembaran-lembaran fotonya.

Ia ingat, pertama kali foto yang didapatkannya adalah foto-foto Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan Habib Umar Bin Hud Al-Attas. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dapat dikatakan adalah salah satu tokoh terpenting habaib saat ini. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf ini pulalah orang yang telah menikahkan orangtuanya dan memberikan nama pada dirinya sewaktu ia lahir. Sementara Habib Umar Bin Hud Al-Attas adalah seorang wali besar dari kota Jakarta yang telah wafat beberapa tahun silam. Saat memandang kedua tokoh habaib tersebut, hatinya berdecak kagum.

Sebuah maqalah ulama dalam kitab Nashaih Al-‘Ibad, karya Syaikh Nawawi Al-Bantani, menyebutkan bahwa di antara manusia ada yang jika kita memandang wajahnya kita akan merasa bahagia. Demikianlah, dari sana kemudian timbul keinginan untuk mengabadikan momen-momen yang menyentuh hatinya tersebut, dan ia pun mulai aktif mengumpulkan foto-foto para habib.

Sejak dari acara haul Habib Shalih Tanggul yang pertama kali ia hadiri kala itu, ia mulai menikmati aktivitasnya mengambil gambar saat berlangsungnya acara dengan kamera seadanya yang ia miliki.

Tanpa disadarinya, keasyikan yang kemudian dijalaninya secara serius dalam mengumpulkan foto para habib dari sejak ia masih nyantri di Daruttauhid, merupakan titik tolak penting dalam perjalanan hidupnya kelak.

Dalam salah satu kalamnya, Asy Syaikh Abubakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang tidak bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di penghabisannya.” Sekalipun kalam itu lebih ditujukan pada konteks mujahadah an-nafs (kesungguh-sungguhan dalam perjuangan melawan keinginan syahwat dan berbagai kecenderungan jiwa rendah), dari keumuman redaksi kalimat yang digunakan, konteks permasalahannya dapat diperluas. Terkait dengan kalam tersebut, perjalanan hidup Habib Abdul Qadir ini juga dapat menjadi hikmah bagi siapa pun yang menjalani segala kebaikan secara bersungguh-sungguh.

Manakib Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi


Status sebagai anak yatim tidak berpengaruh kepada terhadap diri beliau, karena ibunya dengan penuh kesabaran mendidiknya dan tidak menikah lagi. Di tambah lagi asuhan dan perhatian dari para pamannya, terutama Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Habsyi yang menjadi munshib Al-Habsyi di negerinya, beliau dibesarkan dalam didikan pamannya ini sehingga mengikuti jalan dan perilakunya.
Sebelum genap berusia tujuh tahun, beliau telah mulai mempelajari Al-Qur’an kepada mu’allim Ali Syuwa’i pada tempat pengajian umum di Hauthah. Kemudian beliau menghatamkannya pada Syaikh Ahmad Al-Baiti, munsyid di kubah datuknya, sayyidina Ahmad bin Zain Al-Habsyi. Dalam perjalanan menuntut ilmunya beliau mengerahkan seluruh segala kemampuannya untuk belajar baik ketika masih di Hauthah maupun di berbagai tempat lain di Hadramaut. Disebagian tempat beliau menetap dalam waktu lama dan di sebagian yang lain beliau hanya tinggal beberapa saat. Al-Ghorfah, Sewun, Tarim, Syibam dan Du’an adalah sebagian diantara kota-kota yang didatanginya.