TAWASSUL SYAR'I DAN TAWASSUL BID'AH
Tawasul yang syar’i
1. Tawasul kepada Allah dengan nama-nama Allah yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
وَ ِللهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْه بِهَا
“Dan hanya milik Allah nama-nama yang baik. Maka berdo’alah kalian dengan (wasilah) nama-nama tersebut”. (Al A’raaf : 180)
Asy Syaikh Abdurrahaman As Sa’di rahimahullah menafsirklan ayat ini dengan ucapan beliau: “Dan diantara kesempurnaan nama-nama Allah yang baik tersebut adalah tidaklah Dia diseru melainkan dengan (wasilah) nama-nama-Nya dan seruan (do’a) tersebut mencakup do’a ibadah dan do’a permintaan. Dia diseru di dalam setiap permintaan dengan nama yang sesuai dengan permintaan tersebut. Contohnya seseorang berdo’a: “Ya Allah ampunilah aku dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Memberi taubat. Berilah aku rizki wahai Dzat yang Maha Memberi rizki. Berilah kelembutan padaku wahai Dzat yang Maha Lembut dan lain-lain”.
Tidaklah diragukan bahwa sifat-sifat Allah yang tinggi juga termasuk di dalam wasilah tersebut karena nama-nama-Nya yang baik sekaligus mengandung sifat-sifat bagi-Nya. Terlebih lagi Rasululullah amalkan di dalam do’anya yang shohih:
اللهُمَّ بِعِلمِكَ الْغَيْبَ وَ قُدْرَتِكَ على الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لي وَتَوَفَّنِي إَذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لي
“Ya Allah dengan ilmu-Mu tentang yang ghaib dan kekuasaan-Mu terhadap makhluk-Mu, hidupkanlah aku yang Engkau telah ketahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku”. ( H.R An Nasa’i dan Al Hakim serta dishohihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam “Shohih An Nasa’i no. 1304).
Disini beliau bertawasul kepada Allah dengan wasilah dua sifat-Nya yaitu “Al Ilmu” dan “Al Qudrah” (kekuasaan).
2. Tawasul dengan amalan sholih yang pernah dilakukan seseorang yang bertawasul tersebut.
Jenis tawasul ini didasarkan sebuah hadits Muttafaqun ‘Alaihi (Al- bukhori dan Muslim) dari Abdullah bin Umar, tentang tiga orang dari kaum terdahulu yang terperangkap di sebuah gua karena tertutup batu besar. Salah satu diantara mereka bertawasul dengan amalan berbakti kepada kedua orang tuanya. Yang kedua bertawasul dengan terjaganya kehormatan dia dari perbuatan zina dan yang ketiga bertawasul dengan penunaian amanahnya. Hal itu mereka lakukan agar Allah menggeser batu tersebut. Akhirnya pun Allah kabulkan do’a mereka. Rasulullah mengkisahkan cerita panjang tentang ketiga orang tersebut diantaranya dalam rangka menetapkan dan memuji tawasul yang mereka lakukan walaupun hal itu terjadi pada masa sebelum diturunkannya syari’at beliau .
3. Tawasul dengan keimanan dan ketauhidan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah tetapkan perkara ini di dalam firman-Nya:
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادَيًا يُنَادِي لِلإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ الأَبْرَارِ
“Wahai Rabb kami sesungguhnya kami telah mendengar seruan orang yang menyeru (Muhammad ) kepada keimanan yaitu: “Berimanlah kalian kepada Rabb kalian”. Maka kami pun beriman. Wahai Rabb kami ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik”. (Ali Imran : 193)
Maka lihatlah mereka menyebutkan keimanan terlebih dahulu sebelum berdo’a. Bahkan iman dan amalan sholih sendiri merupakan sebab dikabulkannya sebuah do’a sebagaimana firman Allah :
وَيَسْتَجِيْبُ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وِيَزِدْهُمْ من فَضْلِهِ
“Dan Dia memperkenankan do’a orang-orang yang beriman dan beramal sholih serta menambah balasan kebaikan kepada mereka dari keutamaan-Nya”. (Asy Syura :26).
Menyebutkan ketauhidan:
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)
4. Tawasul dengan menyebutkan keadaannya yang sangat membutuhkan sesuatu kepada Allah .
Do’a Nabi Zakariya ? yang Allah kisahkan di dalam firman-Nya menunjukkan bolehnya perkara ini. Dia berfirman:
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Wahai Rabbku sesungguhnya tulangku telah melemah, rambutku telah ditumbuhi uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada-Mu, wahai Rabbku”. (Maryam : 4)
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Wahai Rabbku sesungguhnya tulangku telah melemah, rambutku telah ditumbuhi uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada-Mu, wahai Rabbku”. (Maryam : 4)
Kemudian beliau pun meminta kepada Allah untuk dianugerahi seorang putera yang sholih. Dan Allah pun mengabulkannya.
5. Tawasul dengan do’a orang yang sholih (yang masih hidup) kepada Allah .
Tawasul jenis ini pernah dipraktekkan baik di jaman Nabi masih hidup maupun setelah sepeninggal beliau . Di dalam riwayat Muttafaqun ‘Alaihi dari hadits Anas bin Malik, menceritakan tentang tawasul orang Arab Badui dengan do’a Nabi agar Allah menurunkan hujan ketika terjadi kekeringan dan menahan hujan ketika terjadi banjir. Maka Allah mengabulkan do’a beliau.
Demikian pula yang dilakukan sahabat ‘Ukasyah bin Mihson adalah contoh bertawasul lewat perantaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang perlu diingat, yang dilakukan oleh para sahabat tersebut adalah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Adapun setelah wafatnya beliau, maka hal ini tidak diperbolehkan.
Oleh karena itu, ketika di masa khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu terjadi kekeringan, mereka tidak meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah untuk meminta hujan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tiada. Namun ‘Umar meminta kepada ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami” (H.R Bukhori). Akhirnya, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan hujan kepada mereka melalui perantaraan do’a Abbas.
Di dalam tawasul jenis kelima ini terdapat satu kaidah yang sangat penting bahwa yang dijadikan sebagai wasilah adalah do’a seorang yang sholih. Sehingga kalaupun orang sholih tersebut tidak memanjatkan do’anya atau mendo’akan sesuatu yang tidak mungkin dikabulkan maka tentunya tidaklah mungkin untuk ditunaikan tawasul jenis ini.
Tawasul Bid’ah
Selain tawasul yang dijelaskan di atas adalah bid’ah, misal:
1. Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan orang soleh selain beliau.
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
2. Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Contoh:
”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
3. Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih.
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” (QS. Az Zumar:3)
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (QS. Yunus:18)
Hadis-dan-Atsar Doif-dan-Palsu Yang Biasa Digunakan Sebagai Hujjah Tawasul Bid’ah
[1]
###
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: “رحمك الله يا أمي بعد أمي” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:
لله الذي يحي و يميت و هو حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي”
(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadis di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.
###
Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Thobaroony dalam Mu’jamul Kabiir dan Mu’jamul Awsath, juga oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’ dari jalur Rouh bin Sholaah dari Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim al-Ahwal dari Anas bin Maalik. Perawi yang bernama Rouh bin Sholaah dilemahkan oleh banyak Ulama’. Di antaranya adalah Ad-Daaruquthny, Ibnu ‘Adi (lihat ‘al-Kaamil’(3/1005)), Ibnu Maakuula. Ibnu Yunus menyatakan di dalam Taarikh al-Ghurbaa’ : ‘dia meriwayatkan riwayat-riwayat yang munkar’.
Ulama’ yang menganggapnya tsiqoh (terpercaya) hanyalah Ibnu Hibban dan al-Haakim. Namun penilaian ke-tsiqohan tersebut dalam hadits ini tidak bisa diterima karena :
1. Pendapat Ibnu Hibban dan al-Haakim menyelisihi banyak ulama’ lain yang telah disebutkan di atas.
2. Ibnu Hibban dan al-Haakim dikenal sebagai mutasaahil (terlalu bermudah-mudahan) dalam penilaian tsiqah. Ibnu Hibban banyak meletakkan perawi dalam kitabnya ats-Tsiqaat yang sebenarnya majhuul (tidak dikenal).
As-Sakhowy –murid al-Hafidz Ibnu Hajar- menyatakan dalam Fathul Mughits juz 1 halaman 35 :
وابن حبان يداني الحاكم في التساهل
“ dan Ibnu Hibban mendekati al-Haakim dalam hal ‘tasaahul’ (menggampangkan)
بل ربما يخرج للمجهولين
“ bahkan kadang-kadang mengeluarkan (perawi) yang (masuk kategori) tidak dikenal”
وابن حبان يداني الحاكم في التساهل
“ dan Ibnu Hibban mendekati al-Haakim dalam hal ‘tasaahul’ (menggampangkan)
بل ربما يخرج للمجهولين
“ bahkan kadang-kadang mengeluarkan (perawi) yang (masuk kategori) tidak dikenal”
3. Ibnu Hibban menyatakan dalam kitabnya ats-Tsiqoot tentang Rouh bin Sholaah :
روح بن صلاح: من أهل مصر، يروي عن يحيى بن أيوب، وأهل بلده، روى عنه محمد بن إبراهيم البوشنجي، وأهل مصر
“Rouh bin Sholaah termasuk penduduk Mesir. Meriwayatkan dari Yahya bin Ayyub dan penduduk negerinya. Orang yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin Ibrahim al-Buusyinji dan penduduk Mesir” (Lihat Ats-Tsiqoot juz 8 halaman 244).
“Rouh bin Sholaah termasuk penduduk Mesir. Meriwayatkan dari Yahya bin Ayyub dan penduduk negerinya. Orang yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin Ibrahim al-Buusyinji dan penduduk Mesir” (Lihat Ats-Tsiqoot juz 8 halaman 244).
Perhatikanlah, bahwa sebenarnya Rouh bin Sholaah menurut biografi yang ditulis Ibnu Hibban seharusnya meriwayatkan hadits dari Yahya bin Ayyub atau penduduk negerinya yaitu Mesir. Sedangkan dalam hadits tentang tawassul tersebut Rouh bin Sholaah meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsaury yang sebenarnya adalah penduduk Iraq, bukan Mesir. Sehingga hadits ini termasuk riwayat munkar dari Rouh bin Sholaah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
[2]
###
Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasul dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan:
و أشهد أن الله لا رب غيره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلين وسيلة …. * …. الي الله يان الأكرمين الأطائب
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل …. * …. و إن كان فيما فيه شيب الذوائب
و كن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب
(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i halaman 300)
و أشهد أن الله لا رب غيره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلين وسيلة …. * …. الي الله يان الأكرمين الأطائب
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل …. * …. و إن كان فيما فيه شيب الذوائب
و كن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب
(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i halaman 300)
###
Sebelum kita mengkaji periwayatan dari kisah ini, perlu kita pahami bahwa sebenarnya pujian dari Sawad bin Qoorib tersebut tidaklah bisa dijadikan dalil untuk membolehkan tawassul terhadap orang yang sudah meninggal. Hal ini disebabkan karena :
1. Pujian itu dilontarkan langsung di hadapan Nabi saat beliau masih hidup.
2. Isi dari pujian tersebut di antaranya:
وكن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة
“ Jadilah pemberi syafaatku pada hari di mana tidak ada pemberi syafaat”
“ Jadilah pemberi syafaatku pada hari di mana tidak ada pemberi syafaat”
Tentunya tidak ada permasalahan dengan ungkapan ini karena memang pemberian syafaat Nabi bagi umatnya di hari kiamat tidaklah diingkari oleh Ahlussunnah. Tidak ada kaitannya dengan tawassul terhadap orang yang sudah meninggal.
Apalagi ternyata riwayat tersebut sangat lemah, meskipun jalur periwayatannya lebih dari satu. Kita akan simak satu persatu.
a) Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqy dalam Dalaailun Nubuwwah (2/34).
Di dalam perawinya terdapat Ziyaad bin Yaziid bin Baadawaih dan Muhammad bin Turos al-Kuufi. Al-Hafidz Adz-Dzahaby menyatakan di dalam ‘at-Taarikh’ (1/206):
هذا حديث منكر
“ ini adalah hadits yang munkar”
“ ini adalah hadits yang munkar”
ومحمد بن تراس وزياد مجهولان لاتقبل روايتهما وأخاف أن يكون موضوعا على أبي بكر بن عياش
“ dan Muhammad bin Turos dan Ziyad adalah tidak dikenal, tidak diterima periwayatannya, dan aku khawatir ini termasuk kepalsuan atas Ali Abu Bakr bin ‘Ayyasy”
“ dan Muhammad bin Turos dan Ziyad adalah tidak dikenal, tidak diterima periwayatannya, dan aku khawatir ini termasuk kepalsuan atas Ali Abu Bakr bin ‘Ayyasy”
b) Riwayat Abu Ya’la yang diriwayatkan Ibnu Katsir dalam ‘as-Sirah al-Muthowaalah’ . Ibnu Katsir berkata:
هذا منقطع من هذا الوجه
“(jalur) ini terputus dari sisi ini”
“(jalur) ini terputus dari sisi ini”
وقد أوضح الذهبي في تاريخ الإسلام (1/207-208) علة هذه الطريق فقال:” أبو عبد الرحمن اسمه عثمان بن عبد الرحمن الوقاصي متفق على تركه وعلي بن منصور فيه جهالة مع أن الحديث منقطع
“dan AdzDzahaby telah menjelaskan dalam Tarikh al-Islam (1/207-208) cacat jalur ini. Beliau berkata : Abu Abdurrahman namanya adalah Utsman bin Abdirrahman alWaqqoshi, disepakati untuk ditinggalkan. Sedangkan Ali bin Manshur tidak dikenal. Selain itu (sanad) hadits ini terputus”
“dan AdzDzahaby telah menjelaskan dalam Tarikh al-Islam (1/207-208) cacat jalur ini. Beliau berkata : Abu Abdurrahman namanya adalah Utsman bin Abdirrahman alWaqqoshi, disepakati untuk ditinggalkan. Sedangkan Ali bin Manshur tidak dikenal. Selain itu (sanad) hadits ini terputus”
c) Riwayat Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (2/628):
Adz-Dzahaby menyatakan dalam Taarikhul Islam (1/208) :
فيه سعيد يقول أخبرني سواد بن قاربة وبينهما انقطاع وعباد ليس بثقة يأتي بالطامات
“ di dalamnya ada Sa’id yang berkata : telah mengabarkan kepadaku ‘Sawaad bin Qooribah’ padahal di antara keduanya terputus. Sedangkan ‘Abbad bin Abdis Shomad tidak terpercaya, biasa datang dengan bencana-bencana”
“ di dalamnya ada Sa’id yang berkata : telah mengabarkan kepadaku ‘Sawaad bin Qooribah’ padahal di antara keduanya terputus. Sedangkan ‘Abbad bin Abdis Shomad tidak terpercaya, biasa datang dengan bencana-bencana”
d) Riwayat Muhammad bin as-Saaib al-Kalby.
Muhammad bin as-Saaib al-Kalby dinyatakan oleh al-Bukhari : “ia ditinggalkan oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu Mahdi. Al-Jauzaqoony menyatakan : ia pendusta. Ad-Daaruquthny menyatakan : matruk (ditinggalkan) (Lihat atTaqriib (hal 415)).
e) Riwayat Abu Bakr Muhammad bin Ja’far bin Sahl al-Khoro-ithy.
Terdapat syair tersebut, tapi tidak ada kata-kata:
“Jadilah pemberi syafaatku pada hari di mana tidak ada pemberi syafaat”
f) Riwayat al-Fadhl bin ‘Isa al-Qurosyi dari al-Alaa’ bin Yazid.
As-Suyuthy menyatakan di dalam Syarh Syawaahidul Mughni (2/255):
والعلاء بن يزيد المديني كان يضع الحديث وقال البخاري وغيره: ” منكر الحديث “
“ dan al-Alaa’ bin Yaziid al-Madiini suka memalsukan hadits. AlBukhari dan yang selainnya berkata : ‘munkarul hadits’ .
“ dan al-Alaa’ bin Yaziid al-Madiini suka memalsukan hadits. AlBukhari dan yang selainnya berkata : ‘munkarul hadits’ .
g) Riwayat al-Hasan bin Sufyan di dalam Musnadnya dari jalur al-Hasan bin Umaaroh.
As-Suyuuthy di dalam Syarh Syawaahidul Mughni (2/255) menyatakan : al-Hasan bin ‘Umaaroh sangat lemah. Ahmad menyatakan : matruk (ditinggalkan), Ibnul Madiini berpendapat bahwa ia suka memalsukan hadits.
[3]
###
Dalam Surat Al-Baqarah :37, mengenai Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
Keterangan:
Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw. sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37) diatas, menurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw. bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.
“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.
“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
###
Hadits tersebut memang dishahihkan oleh al-Haakim, namun Imam Adz-Dzahabi menyatakan bahwa hadits tersebut adalah maudlu’ (palsu), karena di dalamnya ada perawi Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Perawi ini dikatakan oleh Imam al-Bukhari sebagai munkarul hadits. Perawi ini juga dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, Abu Haatim, An-Nasaa-i, Ad-Daaruquthni, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ibnul Jauzy (lebih lengkap bisa disimak dalam kitab Ad-Dlu-afaa’ wal matrukiin karya Imam AnNasaai (1/66) dan Ibnul Jauzy (2/95), Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal karya AdzDzahabi (3/155)). Ternyata, Imam al-Haakim dalam kitab al-Mustadrak itu sendiri ketika menyebutkan hadits yang lain dan di dalamnya ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tidak menshahihkannya, bahkan menyatakan : “Dua syaikh (alBukhari dan Muslim ) tidak pernah menggunakan hadits sebagai hujjah jika di dalamnya ada perawi Abdurrahman bin Zaid”( Lihat Mustadrak (3/332)). Di dalamnya juga ada perawi Abdullah bin Aslam al-Fihry yang tidak dikenal di kalangan ahlul hadits.
Hal yang semakin menguatkan hujjah bahwa hadits itu palsu (bukan sabda Rasulullah) adalah ketidaksesuaiannya dengan ayat AlQuran dan tafsir ayat tersebut dari Sahabat Nabi yang mulya. Dalam AlQuran Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Baqoroh: 37). Ibnu Abbas – sahabat Nabi yang mulya – menafsirkan ayat ini dalam atsar yang diriwayatkan oleh al-Haakim (3/545): (Nabi Adam berkata) : “ Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakan aku dengan TanganMu? Allah berfirman : Ya, benar. Adam menyatakan : ‘Bukankah Engkau tiupkan ruh kepadaku (yang termasuk ciptaanMu)?Allah berfirman : Ya, benar. Adam mengatakan : ‘Wahai Tuhanku, bukankah Engkau (sebelumnya) telah menjadikan aku menghuni surga?’. Allah berfirman : Ya, benar. Adam berkata : ‘Bukankah RahmatMu mendahului kemurkaanMu ?’. Allah berfirman : Ya, benar. Adam berkata : ‘Apakah kalau aku bertaubat dan memperbaiki perbuatanku aku akan kembali ke surga?’ Allah. Allah menyatakan : ‘Ya, benar’ “. (Ibnu Abbas berkata ) : (Ucapan-ucapan tersebut) adalah sebagaimana yang Allah firmankan : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya…”(Q.S AlBaqoroh : 37). Al-Haakim menyatakan : “sanad riwayat ini shohih, dan disepakati keshahihannya oleh Adz-Dzahabi.). Maka dengan penjelasan tafsir dari Sahabat Nabi Ibnu Abbas tersebut, tertolak pulalah riwayat-riwayat lemah maupun maudlu’ lainnya tentang bertawassulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad ketika bertaubat atas kesalahannya. Para Ulama’ ahlut tafsir yang lain menjelaskan bahwa yang diucapkan oleh Nabi Adam ketika bertaubat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang lain (yang artinya): “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”(Q.S Al-A’raaf:23). Para Ahlut Tafsir yang berpendapat demikian di antaranya adalah : Mujaahid, Sai’id bin Jubair, Abul ‘A-aliyah, ar-Rabi’ bin Anas, al-Hasan al-Bashri, Qotaadah
[4]
###
Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:
اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku)
Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
###
Perlu dipahami bahwa dalam masalah ini ada 2 kisah yang saling berkaitan dengan riwayat yang berbeda. Kisah yang pertama adalah hadits tentang seorang buta yang datang kepada Nabi untuk minta didoakan, kemudian Nabi mendoakan dan menyuruh orang tersebut untuk berwudlu’, sholat, kemudian berdoa. Hadits tersebut memang shohih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Utsman bin Hunaif. Pembahasan tentang hadits ini telah kami kupas pada tulisan bantahan yang berjudul ‘Meluruskan Pemahaman terhadap hadits-hadits tentang Tawassul ’. Hadits yang shohih tersebut tidak ada kaitannya dengan tawassul dengan jah /kedudukan Nabi atau orang yang sholih baik yang masih hidup maupun sudah meninggal, karena yang terkandung dalam hadits shohih tersebut adalah tawassul dengan amal sholih dan doa orang yang masih hidup (Silakan disimak kembali tulisan kami sebelumnya).
Sedangkan kisah kedua tentang orang yang memiliki keperluan kepada Utsman bin Affan, pada awalnya ia tidak mendapatkan perhatian yang selayaknya dari Utsman bin Affan. Kemudian, pada saat orang tersebut pergi, di tengah jalan bertemu dengan Utsman bin Hunaif, yang kemudian mengajarkan kepadanya tawassul sebagaimana tawassulnya orang buta yang pernah bertemu dengan Nabi tersebut.
Kisah kedua yang melibatkan Utsman bin Affan adalah kisah dengan periwayatan yang lemah. Kelemahannya dapat dijabarkan sebagai berikut :
Urut-urutan sanad yang ada pada kisah tersebut adalah : Abdullah bin Wahb meriwayatkan dari Syabiib bin Sa’iid al-Makki dari Rouh bin al-Qoosim dari Abi Ja’far al-Khuthomy al-Madini dari Abi Umaamah bin Sahl bin Hunaif dari pamannya, Usman bin Hunaif . Pokok permasalahannya terdapat pada perawi Syabiib bin Sa’iid al-Makki. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaani menyatakan di dalam Muqaddimah Fath al-Baari (hal 133) bahwa periwayatan yang di dalamnya ada Syabiib bin Sa’iid al-Makki bisa diterima hanya jika melalui Yunus (bin Yaziid al-Aylii). Namun, di dalam hadits tersebut perawi yang menerima khabar dari Syabiib adalah Abdullah bin Wahb, sehingga lemahlah periwayatannya. Selain itu, sekalipun jalan periwayatan hadits tersebut ditunjang oleh perawi yang bernama Ahmad bin Syabiib, hadits ini semakin menunjukkan kelemahannya, karena sedemikian banyaknya perbedaan padanya. Terbukti, ketika Ibnus Sunni meriwayatkan hadits dalam kitab Amalul Yaum wal-Lailah (hal 202) dan al-Haakim (1/526) dari 3 jalan melalui Ahmad bin Syabiib tanpa menyebutkan kisah tersebut.
[5]
###
Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah menyatakan:
“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan:
اللهم إني أسئلك بحق السائلين عليك ”و أسئلك بحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا و لا بطرا و لا ريائا و لا سمعة خرجت اتقاء سختك و ابتغاء مرضاتك فأسئلك أن تعيذني من النار و أن تغفرلي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت”
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan ungkapan “بحق السائلين عليك”. Rasulullah di situ tidak menggunakan kata “بحق دعاء السائلين عليك” (demi doa para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasul SAW membenarkan –bahkan mengajarkan- bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia saleh kekasih Ilahi (wali Allah) -yang selalu memohon kepada Allah SWT- untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.
###
Sebelum kita kaji periwayatan hadits tersebut, perlu dipahami bahwa hadits tersebut tidaklah merupakan hujjah atas perbuatan tawassul terhadap ‘diri’/dzat seseorang, tetapi yang disebutkan di situ adalah ‘hak orang yang berdoa’. Sedangkan hak orang yang berdoa adalah Allah kabulkan doanya, sebagaimana dalam al-Qur’an :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“ dan telah berkata Tuhan kalian : berdoalah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan untukmu “ (Q.S Ghaafir: 60)
“ dan telah berkata Tuhan kalian : berdoalah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan untukmu “ (Q.S Ghaafir: 60)
Demikian juga sebagai ‘hak hamba’ adalah Allah tidak mengadzabnya jika beribadah kepada Allah dan tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“ dan hak hamba terhadap Allah adalah Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik kepadaNya sedikitpun”(Muttafaqun ‘alaih).
“ dan hak hamba terhadap Allah adalah Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik kepadaNya sedikitpun”(Muttafaqun ‘alaih).
Sedangkan dari sisi riwayat, hadits ini lemah. Di dalamnya terdapat perawi yang bernama ‘Athiyyah. Imam an-Nawawi menyatakan dalam al-Adzkaar bahwa perawi ini lemah. AdzDzahaby menyatakan dalam kitab adDhu’afaa’ (1/88) bahwa perawi ini disepakati kelemahannya. AlBushiry menyebutkan dalam Misbahuz Zujaajah (2/52):
هذا إسناد مسلسل بالضعفاء: عطية وفضيل بن مرزوق والفضل بن الموفق كلهم ضعفاء
“sanad hadits ini adalah mata rantai para perawi lemah : ‘Athiyyah, Fudhail bin Marzuq, dan al-Fadhl bin al-Muwaffiq seluruhnya lemah”.
“sanad hadits ini adalah mata rantai para perawi lemah : ‘Athiyyah, Fudhail bin Marzuq, dan al-Fadhl bin al-Muwaffiq seluruhnya lemah”.
[6]
###
Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)
###
Kalau kita simak riwayat tersebut dalam Sunan AdDaarimi, nash lengkapnya adalah sebagai berikut :
قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَحْطاً شَدِيداً ، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ : انْظُرُوا قَبْرَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ : فَفَعَلُوا فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّىَ عَامَ الْفَتْقِ
Dari sisi penerjemahan:
فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ
diterjemahkan dengan: Jadikanlah ia (kuburan) sebagai << penghubung >> menuju langit sehingga tidak ada lagi << penghalang >> dengan langit.
Padahal seharusnya terjemahan yang benar adalah: Hendaknya kalian membuat << lubang >> yang menghadap ke langit sehingga antara kubur dengan langit tidak ada << atap >>.
Sebelum kita mengkaji riwayatnya, sebenarnya terlihat dengan jelas bahwa hadits ini telah bertentangan dengan hadits yang shahih. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab ArRadd ‘alal Bakri, dengan kedalaman ilmunya, beliau menunjukkan sisi kelemahan hadits ini karena pertentangannya dengan hadits lain yang jelas lebih shohih. Selama Aisyah hidup, tidak perlu dibuatkan lubang yang menghadap ke langit, karena bagian rumah itu ada yang beratap dan ada yang tidak, sehingga sinar matahari sudah bisa langsung masuk.
Disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ فِي حُجْرَتِهَا لَمْ يَظْهَرْ الْفَيْءُ مِنْ حُجْرَتِهَا
“dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sholat Ashr sedangkan matahari masuk ke dalam kamarnya, tidak nampak bayangan dari kamarnya” (Muttafaqun ‘alaih).
Keadaan kamar ‘Aisyah tetap seperti itu terus sampai pada saat Walid bin Abdil Malik memasukkan kamar tersebut ke dalam masjid, sehingga kemudian dibuatkanlah dinding yang tinggi, kemudian dibuatkan lubang agar orang yang akan menyapu atau membersihkannya bisa turun.
Hadits ini diriwayatkan oleh AdDaarimi melalui jalur Abu AnNu’maan dari Sa’id bin Zaid dari ‘Amr bin Maalik anNukri dari Abul Jauzaa’ (Aus bin Abdillah). Dari sisi periwayatan, hadits ini mengandung 3 kelemahan:
1. Di dalamnya terdapat perawi yang bernama Said bin Zaid yang merupakan saudara Hammad bin Zaid. AnNasaa-i menyatakan : ia tidaklah kuat, Yahya bin Sa’id sangat melemahkannya, As-Sa’di menyatakan : ‘mereka melemahkannya’ dan dia tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Yahya bin Ma’in melemahkannya (Lihat Dhu’afaa’ al-‘Uqaily juz 2 halaman 105).
2. ‘Amr bin Maalik anNukri. Ibnu ‘Adi di dalam kitabnya ‘Al-Kaamil’ (5/1799) menyatakan bahwa perawi ini suka meriwayatkan hadits munkar dari perawi yang terpercaya. Abu Ya’la menyatakan bahwa ‘Amr bin Maalik anNukri adalah lemah.
3. Abu Nu’man.
Abu Nu’man adalah Muhammad bin al-Fadhl, walaupun dia tsiqah, namun ia tercampur aduk hafalannya (pikun) menjelang akhir usianya. Perawi semacam ini, jika didengar periwayatannya sebelum hafalannya tercampur, maka bisa diterima, jika setelah itu tidak bisa diterima. Dalam hadits ini tidak ada qoriinah yang bisa memastikan bahwa AdDaarimi meriwayatkan sebelum pikirannya tercampur. Sehingga hadits ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Abu Nu’man adalah Muhammad bin al-Fadhl, walaupun dia tsiqah, namun ia tercampur aduk hafalannya (pikun) menjelang akhir usianya. Perawi semacam ini, jika didengar periwayatannya sebelum hafalannya tercampur, maka bisa diterima, jika setelah itu tidak bisa diterima. Dalam hadits ini tidak ada qoriinah yang bisa memastikan bahwa AdDaarimi meriwayatkan sebelum pikirannya tercampur. Sehingga hadits ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
[7]
####
Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul / istighotsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul -dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara- yang di tujukan kepada Rasul yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib KW:
“Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali” (Lihat: Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298)
“Ali bersama al-Quran dan al-Quran bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124)
“Aku (Rasul) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126)
“Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku” (Lihat: Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122)
####
Atsar tersebut lafadz aslinya adalah sebagai berikut:
قدم علينا أعرابي بعدما دفنا رسول الله – صلى الله عليه وسلم – بثلاثة أيام فرمى بنفسه إلى قبر النبي – صلى الله عليه وسلم – وحثا على رأسه من ترابه ، وقال : يا رسول الله قلت فسمعنا قولك ، ووعيت عن الله عز وجل فما وعينا عنك ، وكان فيما أنزل الله عليك {ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما} وقد ظلمت نفسي وجئتك تستغفر لي فنودي من القبر إنه قد غفر لك
Kajian terhadap sanad atsar:
Al-Hafidz Muhammad bin Ahmad bin Abdil Hadi menyebutkan sanad atsar ini di dalam kitab As-Shoorimul Munkiy halaman 363-364:
روى أبو الحسن علي بن إبراهيم بن عبد الله بن عبد الرحمن الكرخي عن علي بن محمد بن علي ثنا أحمد بن محمد بن الهيثم الطائي ثنا أبي عن أبيه عن سلمة بن كهيل عن أبي صادق عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه
Abul Hasan Ali bin Ibrohim bin Abdillah bin Abdirrohman al-Karkhy meriwayatkan dari Ali bin Muhammad bin Ali (ia berkata ) telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad al-Haitsam at-Tho-i (ia berkata) telah mengkabarkan kepada kami ayahku dari ayahnya dari Salamah bin Kuhail dari Abu Shodiq dari Ali bin Abi Tholib radliyallaahu ‘anhu.
Sebelum kita menyimak sedikit penjelasan dari al-Hafidz Muhammad bin Ahmad bin Abdil Hadi (yang lebih dikenal sebagai Ibnu Abdil Hadi) tentang sanad atsar tersebut, ada baiknya kita mengenal siapakah al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi agar kita mengetahui kadar keilmuan beliau.
Al- Imam As-Suyuthy menyebutkan tentang biografi beliau dalam kitabnya Thobaqootul Huffadz dalam bab at-Thobaqoh al-Haadiyah wal ‘Isyruun juz 1 halaman 109. As-Suyuthy menyatakan tentang beliau sebagai al-Imam, al-Muhaddits (ahlul hadits), al-Hafidz, al-Faqiih (ahli fiqh), dan gelar pujian yang lain. Setelah itu disebutkan bahwa Ibnu Abdil Hadi adalah termasuk murid Ibnu Taimiyyah yang mahir dalam fiqh, al-Ushul, dan bahasa Arab. Kemudian beliau menukil pujian – pujian Ulama’ lain terhadapnya, di antaranya adalah ahli tafsir terkenal Ibnu Katsir yang menyatakan:
كان حافظاً علامة ناقداً حصل من العلوم ما لا يبلغه الشيوخ ولا الكبار وبرع في الفنون وكان جبلا في العلل والطرق والرجال حسن الفهم جداً صحيح الذهن
“Beliau adalah seorang hafidz, Allaamah (seorang yang sangat ‘alim), Naaqid (pengkritik derajat hadits), tercapai padanya ilmu-ilmu yang tidak bisa dijangkau para Syaikh dan Ulama’ yang besar, dan mahir dalam bidang-bidang (ilmu), beliau adalah (bagaikan) gunung dalam masalah ‘ilal (cacat-cacat pada hadits), dan jalan-jalan (periwayatan hadits), dan perawi-perawi (hadits). Beliau memiliki pemahaman yang sangat baik dan pemikiran yang shahih”
Al-Hafidz al-Mizzi –salah seorang guru Ibnu Katsir-mengatakan:
ما لقيته إلا واستفدت منه
“tidaklah aku bertemu dengannya kecuali aku mendapatkan faedah darinya”
As-Suyuuthy menyatakan bahwa ucapan al-Mizzi tersebut juga diucapkan oleh al-Hafidz Adz-Dzahaby. (Al-Hafidz Adz-Dzahaby adalah salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada saat awal menuntut ilmu hadits, al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany bercita-cita dan berkeinginan besar ingin seperti Adz-Dzahaby, sehingga jika beliau minum air zam-zam juga berdoa kepada Allah agar dikaruniai keilmuan seperti al-Hafidz Adz-Dzahaby).
Kita kembali pada penjelasan al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi tentang atsar ‘Ali bin Abi Tholib tersebut.
Setelah menyebutkan sanadnya, beliau menyebutkan sisi kelemahan yang ada pada atsar tersebut. Di dalam sanad tersebut dinyatakan bahwa Ahmad bin Muhammad alHaitsam at-Tho-i mendengar dari ayahnya, dan ayahnya mendengar dari ayahnya lagi (kakek Ahmad bin Muhammad al-Haitsam). Al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi menyoroti perawi kakek dari Ahmad bin Muhammad al-Haitsam at-Tho-i:
والهيثم جد أحمد بن الهيثم أظنه ابن عدي الطائي ، فإن يكن هو ، فهو متروك كذاب ، وإلا فهو مجهول
“dan al-Haitsam kakek Ahmad bin al-Haitsam, aku mengira ia adalah Ibnu ‘Adi at-Tho-i, kalau memang ia adalah orangnya, maka dia adalah matruk (ditinggalkan), dan pendusta. Jika bukan, maka ia adalah majhul (tidak dikenal).”
Selanjutnya, al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi menyebutkan keterangan para Ulama’ tentang al-Haitsam bin ‘Adi, di antaranya:
Yahya bin Ma’in menyatakan tentangnya: dia tidaklah terpercaya dan pendusta. Abu Dawud juga menyatakan bahwa dia adalah pendusta (Lihat kitab at-Taarikh karya Ibnu Ma’in no 1767).
Selain itu, dalam sanad atsar tersebut dinyatakan bahwa yang meriwayatkan dari ‘Ali adalah Abu Shodiq. Dalam kitab al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Haatim juz 8 halaman 199 no 875 disebutkan bahwa Abu Shodiq tersebut namanya adalah Muslim bin Yazid, ada juga yang menyatakan bahwa namanya adalah Abdullah bin Najidz. Dia meriwayatkan hadits dari ‘Ali secara mursal, maksudnya dia tidak pernah mendengar langsung dari ‘Ali bin Abi Tholib (sebagaimana dijelaskan oleh Abu Haatim ketika ditanya oleh anaknya Ibnu Abi Haatim). Sehingga, dalam sisi ini atsar tersebut terputus sanadnya.
Dari segi kandungan (matan) kita akan mendapati ketidakshahihan atsar tersebut, di antaranya dari:
1). Ketidaksesuaiannya dengan konteks ayat yang dibaca oleh Arab Badui tersebut:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Kalau seandainya mereka ketika mendzhalimi diri mereka sendiri mendatangimu (wahai Muhammad) sehingga mereka meminta ampunan kepada Allah, dan Rasul memintakan ampunan bagi mereka, niscaya mereka akan mendapati Allah sebagai Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S AnNisaa’:64)
Ibnu Jarir AtThobary dalam tafsirnya menyatakan:
ولو أن هؤلاء المنافقين الذين وصف صفتهم في هاتين الآيتين، الذين إذا دعوا إلى حكم الله وحكم رسوله صدوا صدودا، إذ ظلموا أنفسهم باكتسابهم إياها العظيم من الإثم في احتكامهم إلى الطاغوت وصدودهم عن كتاب الله وسنة رسوله، إذا دعوا إليها جاءوك يا محمد حين فعلوا ما فعلوا من مصيرهم إلى الطاغوت، راضين بحكمه دون حكمك جاءوك تائبين منيبين فسألوا الله أن يصفح لهم عن عقوبة ذنبهم بتغطيته عليهم وسأل لهم الله رسوله مثل ذلك، وذلك هو معنى قوله: (فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول)
“kalau seandainya orang-orang munafiqin yang Allah sifatkan keadaannya dalam 2 ayat ini yang ketika dipanggil untuk berhukum dengan hukum Allah dan hukum RasulNya, mereka menolak dengan penolakan yang sangat. Jika mereka mendzholimi dirinya sendiri karena melakukan dosa besar dalam hal berhukum dengan thaghut dan penolakan mereka terhadap Kitabullah dan Sunnah RasulNya, ketika dipanggil kepadanya mereka datang kepadamu wahai Muhammad ketika melakukan perbuatan (berhukum dengan ) thaghut, mereka ridla dengan hukumnya selain hukummu, mereka datang kepadamu dalam keadaan bertaubat kembali (kepada Allah), sehingga mereka meminta kepada Allah untuk memaafkan mereka (dengan menghapuskan) siksaan akibat dosa mereka, dengan menutupnya terhadap mereka, dan Rasulullah meminta kepada Allah semisal dengan itu. Demikian itu adalah makna firman Allah : maka mereka meminta ampunan kepada Allah dan Rasul memintakan ampunan bagi mereka.”
Jelas sekali bahwa konteks ayat tersebut adalah untuk seseorang pendosa yang ingin bertaubat,dia meminta ampunan kepada Allah juga dengan mendatangi Rasul semasa hidup beliau agar Nabi memohonkan ampunan baginya. Ayat tersebut merupakan bimbingan dari Allah agar seseorang yang berbuat dosa ‘mendatangi Nabi’, bukan ‘mendatangi makam/kuburan Nabi’. Jika Nabi masih hidup, seseorang bisa datang langsung kepada Nabi untuk memintakan ampunan untuknya kepada Allah. Namun, jikapun seseorang yang berdosa itu tidak mendatangi Nabi, namun memohon ampunan bagi Allah secara langsung, maka yang demikian ini sudah cukup bagi dia.
Hal ini semakin diperjelas dengan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، قَالَ : كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ حَرْمَلَةُ بن زَيْدٍ , فَجَلَسَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الإِيمَانُ هَهُنَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى لِسَانِهِ ، وَالنِّفَاقُ هَهُنَا ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى صَدْرِهِ وَلا يَذْكُرُ اللَّهَ إِلا قَلِيلا ، فَسَكَتَ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَرَدَّدَ ذَلِكَ عَلَيْهِ ، وَسَكَتَ حَرْمَلَةُ ، فَأَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَرَفِ لِسَانِ حَرْمَلَةَ ، فَقَالَ : ” اللَّهُمَّ اجْعَلْ لَهُ لِسَانًا صَادِقًا ، وَقَلْبًا شَاكِرًا ، وَارْزُقْهُ حُبِّي وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّنِي ، وَصَيِّرْ أَمْرَهُ إِلَى الْخَيْرِ ” ، فَقَالَ حَرْمَلَةُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ لِي إِخْوَانًا مُنَافِقِينَ كُنْتُ فِيهِمْ رَأْسًا أَفَلا أَدُلُّكَ عَلَيْهِمْ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” لا ، مَنْ جَاءَنَا كَمَا جِئْتَنَا اسْتَغْفَرْنَا لَهُ كَمَا اسْتَغْفَرْنَا لَكَ ، وَمَنْ أَصَرَّ عَلَى ذَنْبِهِ فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِ ، وَلا تَخْرِقْ عَلَى أَحَدٍ سَتْرًا
“Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridlainya- beliau berkata : ‘Aku sedang berada di sisi Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam ketika datang Harmalah bin Zaid. Kemudian dia duduk di depan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia berkata : ‘Wahai Rasulullah, iman itu di sini’. (Ia mengisyaratkan pada lisannya). ‘Sedangkan kemunafikan itu ada di sini. (Ia mengisyaratkan dengan tangannya ke arah dadanya), ‘dan tidaklah berdzikir mengingat Allah kecuali hanya sedikit’. Maka Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam terdiam. Ia mengulanginya, dan Harmalah diam. Kemudian Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam memegang ujung lidah Harmalah dan berdoa : Ya Allah jadikanlah untuknya lisan yang jujur, hati yang bersyukur, dan berikan kepadanya kecintaan kepadaku dan kecintaan kepada orang yang mencintaiku, dan arahkan urusannya pada kebaikan”. Maka Harmalah berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki beberapa saudara munafiq. Aku menjadi pemimpin bagi mereka. Apakah aku tunjukkan pada mereka (untuk mendatangimu juga agar kau doakan)? Maka Nabi shollallaahu ‘alahi wasallam bersabda : ‘Tidak’. Barangsiapa yang datang kepada kami sebagaimana kedatanganmu, kami akan mintakan ampunan untuknya, sebagaimana kami mintakan ampunan untukmu. Barangsiapa yang terus dalam dosanya, maka Allahlah yang lebih berhak terhadapnya. Dan janganlah engkau merobek tirai seorangpun “ (diriwayatkan oleh atThobaroony dalam alMu’jamul Kabiir, al-Haitsamy menyatakan: perawi-perawinya adalah perawi-perawi As-Shohiih. Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyatakan dalam kitab al-Ishoobah (1/320) : sanadnya tidak mengapa).
Ketika Harmalah menanyakan kepada Nabi apakah sebaiknya ia beritahukan cara tersebut agar ditiru oleh saudara-saudaranya yang lain, Nabi tidak menganjurkan. Beliau tidak memerintahkannya pada saat beliau hidup, apalagi pada saat beliau meninggal. Sama sekali beliau tidak mengatakan kepada Harmalah : “ya, beritahukan kepada mereka semua, dan semua orang yang ada kemunafikan pada dirinya dan banyak berdosa, agar mereka mendatangiku pada saat aku masih hidup, atau jika aku sudah meninggal, silakan mendatangi kuburanku” atau ucapan semisalnya.
2) Tidak pernah ternukil dalam riwayat yang shohih ataupun hasan bahwa para Sahabat mencontoh perbuatan orang Arab Badui tersebut. Bahkan Ali bin Abi Tholib yang disebutkan dalam riwayat tersebut juga tidak pernah melakukannya. Semua dalil yang mendukung kebid’ahan semacam ini adalah sangat lemah bahkan palsu.
3) Lebih aneh lagi, dikisahkan dalam riwayat tersebut, bahwa setelah Arab Badui tadi melakukan tawassul di kuburan Nabi, kemudian terdengar suara dari makam Nabi : “Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”.
Subhaanallah, kedustaan yang luar biasa! Kalau seandainya Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bisa berbicara dari dalam kuburnya, para Sahabat tidak akan hanya bertawassul pada beliau meminta istighfar Nabi jika mereka bersalah, tapi setiap ada permasalahan, mereka akan mendatangi kuburan Nabi, dan itu akan terus berlangsung sampai hari kiamat oleh orang-orang yang beriman. Tidak akan bermasalah penentuan kekhalifahan sepeninggal Nabi, semisal siapa yang akan menggantikan Utsman bin Affan, dan banyak permasalahan-permasalahan penting lainnya, tinggal ditanyakan di kuburan Nabi.
Masih sangat banyak keanehan –keanehan dari riwayat tersebut, selain telah kami tunjukkan sisi kelemahannya yang sangat dari sisi sanad, namun penjelasan tentang riwayat ini kami cukupkan sampai di sini.
Hadits tentang Ali yang dinisbatkan ucapannya kepada Nabi:
“Aku (Rasul) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Mustadrak, AtThobaroony dalam alMu’jamul Kabiir, Abusy Syaikh Ibnu Hayyan dalam As-Sunnah, juga diriwayatkan oleh atTirmidzi, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah. AdDaaruquthny menyatakan dalam al-‘Ilal : ‘Hadits ini mudhtarib (guncang), tidak tsabit’. AtTirmidzi menyatakan : ‘hadits ini munkar’. Al-Bukhari menyatakan : ‘sesungguhnya hadits ini tidak memiliki sisi yang shahih’. Ibnul Jauzi memasukkannya sebagai hadits yang maudlu’ (palsu) dalam kitabnya al-Maudlu’aat dan disepakati oleh Adz-Dzahaby. Al-Khotib al-Baghdady menukil pernyataan Yahya bin Ma’in bahwa hadits ini adalah dusta tidak ada asalnya (Silakan dilihat pada kitab Kasyful Khifaa’ karya Isma’il bin Muhammad al-‘Ajluuny juz 1 halaman 203).
[8]
####
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab “Fathul Bari” 2/577)
####
AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyebutkan dalam kitab Fathul Baari:
وَرَوَى اِبْن أَبِي شَيْبَة بِإِسْنَادٍ صَحِيح مِنْ رِوَايَة أَبِي صَالِح السَّمَّانِ عَنْ مَالِك الدَّارِيّ – وَكَانَ خَازِن عُمَر –
“dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Sholih As-Sammaan dari Maalik ad-Daar” (Fathul Baari 2/577).
Sepintas orang akan menganggap riwayat ini sanadnya shohih semua, padahal seseorang yang mempelajari istilah dalam ilmu hadits akan paham terhadap isyarat dari al-Hafidz Ibnu Hajar ini bahwa riwayat Ibnu Abi Syaibah tersebut shohih sanadnya sampai Abu Sholih As-Sammaan. Jika kita kaji, ternyata perawi yang bernama Maalik Ad-Daar sebenarnya tidak dikenal di kalangan Ulama’ Ahlul Hadits. Al-Haitsamy menyatakan : ‘Maalik ad-Daar, aku tidak mengenalnya’ (lihat Majma’uz Zawaaid (3/125). Demikian juga yang dinyatakan oleh al-Hafidz al-Mundziri dalam kitab ‘AtTarghib wat Tarhiib’ (2/41).
Kemudian, Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menyatakan:
وَقَدْ رَوَى سَيْف فِي الْفُتُوح أَنَّ الَّذِي رَأَى الْمَنَام الْمَذْكُور هُوَ بِلَال بْن الْحَارِث الْمُزَنِيُّ أَحَد الصَّحَابَة
“dan Saif telah meriwayatkan di dalam kitab al-Futuh bahwasanya seseorang yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzany seorang Sahabat”
Saif yang dimaksud oleh Ibnu Hajar tersebut sebenarnya adalah Saif bin ‘Amr bin ad-Dhoby al-Asdy penulis kitab al-Futuh wad Durroh. Yahya bin Ma’in menyatakan bahwa ia adalah perawi yang lemah. Ibnu Hibban menyatakan : ‘Ia meriwayatkan riwayat-riwayat palsu dari al-atsbaat dan mereka berkata : sesungguhnya dia memalsukan hadits’. Abu Hatim menyatakan : matruk (ditinggalkan). Ibnu ‘Adi menyatakan : ‘keumuman haditsnya adalah munkar’ (Lihat ‘al-Mizan’ (2/197) dan Dhu’afaa’ anNasaa-i (187)). Sehingga, kita tidak bisa menerima pernyataan dari Saif tersebut bahwa yang bermimpi itu adalah Sahabat Bilal bin alHarits karena Saif adalah perawi yang ditinggalkan (matruk).
Selain kelemahan periwayatan tersebut, kisah ini bertentangan dengan petunjuk Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya jika ditimpa kekeringan, hendaknya mereka melakukan sholat istisqo’. Demikian juga dengan istisqo’nya Umar dengan meminta kepada Abbas yang masih hidup untuk berdoa sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari yang sudah jelas keshahihannya.
[9]
####
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasa- an sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)
####
Penulis blog dengan judul tulisan “Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul”, yang mencantumkan hadist ini sebagai hujjahnya, benar-benar tidak amanah. Ia menyebutkan rujukannya dalam kitab Siyar A’laamin Nubalaa’ jilid 1 halaman 358, namun ia tidak menyebutkan secara lengkap ucapan al-Hafidz Adz-Dzahaby setelah menyebutkan kisah tersebut. Padahal al-Hafidz Adz-Dzahaby sendiri menyatakan tentang kisah tersebut:
إسناده لين وهو منكر
“sanad (kisah) tersebut lemah dan dia adalah munkar”.
Kisah itu diriwayatkan melalui jalur Ibrohim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilaal bin Abid Darda’ dari ayahnya dari kakeknya dari Ummud Darda’ dari Abud Darda’. Setelah dikisahkan bahwa Bilal mendekap dan mencium Hasan dan Husein, disebutkan:
فقالا له: يا بلال ! نشتهي أن نسمع أذانك. ففعل، وعلا السطح، ووقف، فلما أن قال: الله أكبر، الله أكبر ارتجت المدينة، فلما أن قال: أشهد أن لا إله إلا الله، ازداد رجتها، فلما قال: أشهد أن محمدا رسول الله، خرجت العواتق من خدورهن، وقالوا: بعث رسول الله، فما رؤي يوم أكثر باكيا ولا باكية بالمدينة بعد رسول الله، صلى الله عليه وسلم، من ذلك اليوم
“Maka keduanya (Hasan dan Husein) berkata : ‘Wahai Bilal, kami ingin sekali mendengar adzanmu. Maka Bilal pun melakukannya (dia adzan), naik ke atap dan berdiri. Ketika dia mengucapkan :Allaahu Akbar Allaahu Akbar, Madinah bergemuruh. Ketika dia mengucapkan : Asyhadu an laa ilaaha illallaah… semakin bertambah gemuruhnya. Ketika dia mengucapkan : Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullaah. Keluarlah gadis-gadis dari tempat pingitannya, dan mereka berkata: ‘Rasulullah dibangkitkan. Maka tidaklah terlihat pada suatu hari orang lebih banyak menangis di Madinah setelah (kematian) Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dibandingkan hari itu” (Silakan dilihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahaby jilid 1 halaman 358).
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyatakan tentang perawi yang bernama Ibrohim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilaal bin Abid Darda’:
إبراهيم بن محمد بن سليمان بن بلال بن أبي الدرداء فيه جهالة حدث عنه محمد بن الفيض الغساني انتهى ترجم له ابن عساكر ثم ساق من روايته عن أبيه عن جده عن أم الدرداء عن أبي الدرداء في قصة رحيل بلال إلى الشام وفي قصة مجيئه إلى المدينة وأذانه بها وارتجاج المدينة بالبكاء لأجل ذلك وهي قصة بينة الوضع
“Ibrohim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilaal bin Abid Darda’ padanya terdapat ‘jahalah’ (tidak dikenal), yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin alFaydl al-Ghossaany, -selesai-. Ibnu ‘Asakir menjelaskan biografinya kemudian menyebutkan riwayatnya dari ayahnya dari kakeknya dari Ummud Darda’ dari Abud Darda’ tentang kisah perjalanan Bilaal menuju Syam dan tentang kisah kedatangannya ke Madinah dan adzannya Bilaal dengannya dan gemuruhlah Madinah dengan tangis dengan sebab itu. Dan itu kisah yang jelas kepalsuannya” (Lihat Lisaanul Miizaan juz 1 halaman 107 no 320 tentang Ibrohim tersebut).
Sehingga jelas sekali bahwa kisah itu adalah munkar sebagaimana perkataan al-Hafidz Adz-Dzahaby, dan palsu seperti perkataan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Demikianlah, para penentang Ahlussunnah akan banyak menggunakan dalil-dalil yang lemah lagi palsu untuk melegalkan isi dakwah dan perbuatannya.
Allahu’alam
=========================================
taken from:
Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Post a Comment