Islam dan Pornografi
Oleh Badarus Syamsi
Kaum Muslim harus mampu mengartikulasikan nilai-nilai etika Islam dalam kehidupan praksis-operasional, misalnya dalam bidang kesenian
- Jangan sampai Islam terkesan sebagai penjara bagi kreasi dan inovasi manusia, hanya karena penafsiran sebagian kaum Muslim
- Jangan sampai Islam terkesan sebagai penjara bagi kreasi dan inovasi manusia, hanya karena penafsiran sebagian kaum Muslim
Tulisan ini kiranya hanya merupakan respon lepas dalam rangka ikut memarakkan suasana diskusi sosial mengenai pornografi.
Begitu ‘goyang ngebor’ Inul diklaim sebagai salah satu bentuk pornografi, masyarakatpun terpecah ke dalam dua argumen besar yakni yang mengecam goyangan Inul dan yang pro Inul dengan alasan bahwa hal itu adalah kreatifitas seni. Persoalan menjadi besar karena kemudian agama dibawa-bawa untuk mengatasi persoalan pornografi. Kontan dalam suatu wawancara, Inul mengatakan bahwa adalah merupakan kreatifitas dia dalam memunculkan ‘goyang ngebornya’. Inul juga tidak mau kalau menari harus memakai jilbab atau kerudung dan sebagainya.
Itulah sepetik fenomena mengenai Inul dan kisah pornografi. Ada dua hal yang patut untuk dicermati di sini. Pertama, bagi sebagian orang, jelas agama terkesan menjadi ‘penjara’ atau mungkin pengekang bagi kebebasannya. “Goyang ngebor itu kan sangat digemari masyarakat, kok kemudian ‘agama’ melarang dengan alasan pornografi”? tandas mereka ini. Kedua, bagi sebagian yang lain, hal-hal yang betentangan dengan ‘nilai-nilai’ agama, biasanya akan membawa pengaruh negatif bagi kehidupan sosial semisal judi, minuman keras, narkotika dan sebagainya, termasuk penampilan lekukan tubuh para penari panggung. Di sinilah maka agama perlu menjadi kontrol dalam kehidupan sosial.
Pertanyaan pentingnya, apakah wacana sosial yang berkembang akan cenderung mengikuti premis yang pertama, ataukah yang kedua? Perlu disadari bahwa agama memberikan kebebasan berkreasi kepada manusia, bukan saja untuk kebaikan, mau kafirpun agama mempersilahkan orang untuk memilih jalan hidupnya. Agama memberikan panduan-panduan etis kepada manusia dalam berkehidupan sosial agar segenap tindakannya tidak merugikan yang lain atau --- minimal --- tidak membawa dampak-dampak negatif tertentu. Namun demikian, persoalan besar yang menantang adalah sampai di mana nilai-nilai etis itu mampu ditelorkan dalam nilai-nilai kehidupan praksis keseharian? More good lagi jika hal itu banyak diminati orang. Dalam kenyataannya, suguhan seni-seni bernuansa agama hanya menarik bagi sebagian orang. Bisakah mereka --- yang menentang pornografi --- menciptakan suatu kesenian rakyat yang dapat mengalahkan ‘goyang negebor’ Inul?
Amat sedikit orang yang mau merenungkannya. Kebuntuan dalam menyuguhkan seni-seni kerakyatan sebagai artikulasi nilai-nilai etis agama, akan mengesankan banyak orang bahwa agama selalu dan hanya menjadi Red Light (lampu merah) bagi kreatifitas manusia. So di sinilah tugas sosial kaum agamawan, ceramahnya jangan hanya di masjid-masjid doong!, cobalah sekali-kali ikut menari dan menyanyi bersama rakyat bawah. Semuanya akan kelihatan, apa sih yang belum diberikan agama bagi pemenuhan kebutuhan seni masyarakat bawah? (Badarus Sy)
Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Post a Comment