Khairuddin Al-Tunisi(1822-1889)

Oleh Luthfi Assyaukanie
Konsep “ummah” yang dibicarakan Khairuddin merupakan cikal-bakal konsep “pan-islamisme” yang belakangan dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan pengikut-pengikutnya. Agaknya, Khairuddin memang sulit keluar dari paradigma khilafah –seperti juga al-Afghani-- kendati ia pernah hidup dan merasakan atmosfer demokrasi di Perancis.
Khairuddin al-Tunisi bukanlah orang Tunis dan bukan pula seorang pemikir tulen. Tapi, para penulis sejarah pemikiran Arab modern memandangnya sebagai tokoh yang berjasa bagi Tunis dan salah seorang intelektual penting dalam wacana pemikiran Arab kontemporer. Secara genealogis, Khairuddin adalah seorang Kaukasus berdarah Syarkasy, sebuah provinsi Rusia di Asia Tengah. Tahun kelahirannya tidak begitu jelas, tapi para penulis menyebutnya sekitar tahun 1822. Hal ini karena ketika ia dipungut oleh seorang bangsawan Tunis bernama Ahmad Bey, pada tahun 1839 usianya baru 17 tahun. Sebagai seorang “anak” bangsawan, ia mendapat pendidikan sangat baik, menapaki karir dengan lancar, hingga akhirnya memegang berbagai posisi penting di pemerintahan, baik di Tunis maupun di Istanbul, ibu kota kerajaan Utsmaniyyah.

Khairuddin lebih sebagai seorang birokrat ketimbang pemikir. Kalaulah bukan karena bukunya, Aqwam al-Masalik fi Ma’rifat Ahwal al-Mamalik dan beberapa kumpulan artikelnya yang lain, tentu ia dikenang hanya sebagai pegawai negeri biasa yang sukses menjalani karirnya. Tapi, karena karya itulah, ia disejajarkan dengan Thahtawi, Abduh, dan intelektual Arab modern lainnya.
Sebelum dipungut anak oleh Ahmad Bey, Khairuddin tinggal dengan kedua orang tuanya di Kaukasus, hingga mereka tewas dalam sebuah pertempuran antara Utsmaniyyah dengan Rusia. Nasibnya berubah 360 derajat setelah ia dibawa ke Tunis dan diangkat sebagai anak oleh keluarga Ahmad Bey. Di bawah asuhan Ahmad Bey, Khairuddin belajar bahasa Arab dan Perancis, ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama, seperti umumnya anak-anak Muslim di Tunis. Setelah tamat belajar, ia masuk ke sekolah militer. Karena pencapaiannya yang luar biasa di sekolah itu, pada tahun 1852, Ahmad Bey mengirimnya ke Paris untuk melanjutkan pendidikan yang lebih baik. Ia tinggal di Perancis selama empat tahun. Selain mendalami pengetahuan kemiliteran, selama bertada di Perancis, ia juga banyak membaca buku-buku politik, hukum, dan filsafat.
Sekembalinya dari Perancis, Khairuddin langsung diberi kepercayaan sebagai Menteri Kelautan Tunis. Ia memegang jabatan ini selama enam tahun. Ia sering dilibatkan dalam perumusan undang-undang, termasuk UU Tunis tahun 1860. Ia menjadi orang kepercayaan Bey Sadiq, penguasa Tunis saat itu. Atas kepercayaannya, Khairuddin kemudian diangkat menjadi ketua Dewan Agung. Pada tahun 1859, ia mengunjungi Istanbul yang merupakan lawatan resminya yang pertama. Ketika Tunis dilanda krisis keuangan yang hebat yang mengakibatkan Komisi Internasional turun tangan, Khairuddin berkali-kali mengunjungi Istanbul, guna meminta bantuan dan penyelesaian krisis di negerinya. Tahun 1873 ia dipercaya menjadi Perdana Menteri, dan ia menduduki jabatan ini selama empat tahun. Ketika berada dalam jabatan inilah, Khairuddin mencanangkan program reformasinya. Ia memperbaiki administrasi negara, mengorganisasikan lembaga-lembaga keagamaan, dan membangun berbagai sarana sosial.
Pada tahun 1877, karir politik Khairuddin dihabisi oleh lawan-lawan politiknya, menyusul berbagai pergolakan internal dan eksternal di Tunis. Sultan Abdul Hamid yang mendengar nasib menyedihkan yang dialami Khairuddin langsung mengundangnya ke Istanbul. Setahun kemudian, ia diangkat sebagai menteri utama, sebuah jabatan yang kemudian memicu kedengkian di kalangan rekan-rekan Turkinya. Tak tahan menghadapi berbagai gejolak, akhirnya “orang Tunis” itu mengundurkan diri dari jabatannya setahun kemudian. Ia memutuskan pensiun dan menjalani masa tuanya di Istanbul hingga ajal menjemputnya pada tahun 1889.
Model Kemajuan
Buku Aqwam al-Masalik yang ditulis Khairuddin ketika ia masih menjabat ketua Dewan Agung mendapat sambutan luar biasa di kalangan para politisi Tunis dan Utsmaniyyah ketika itu. Tak lama setelah dipublikasikan di Tunis pada tahun 1867, buku itu juga diterbitkan ulang di Istanbul dan diterbitkan dalam dwi-bahasa, Arab dan Perancis. Versi Perancisnya, Reformes Necessaires aux Etats Musulmansdisupervisi langsung oleh Khairuddin.
Buku itu secara umum menjelaskan sejarah, struktur sosio-politik, dan kekuatan negara-negara Eropa. Dengan memberikan gambaran umum tentang sejarah dan struktur sosial masyarakat Eropa, Khairuddin sesungguhnya sedang berupaya mengingatkan para pembaca Muslim akan model kemajuan yang bisa mereka contoh. Baginya, Eropa kini sedang berada pada puncak pencapaian sejarahnya. Mereka telah berusaha membangun peradaban mereka dengan susah-payah dan kerja keras. Jika kaum Muslim ingin maju seperti negara-negara Eropa itu, mereka juga harus meniru cara kerja mereka.
Kaum Muslim, menurut Khairuddin harus mempelajari ilmu pengetahuan dan ide-ide yang dikembangkan di Barat. Mengambil ilmu pengetahuan yang diciptakan Barat tidaklah bertentangan dengan Islam. Bahkan Islam, menurutnya, menganjurkan umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan dari manapun ia berasal. Khairuddin merasa perlu untuk menyebutkan ini. Karena ia masih melihat ada sebagian ulama tradisional yang masih merlarang atau ragu-ragu terhadap pencapaian intelektual Barat.
Eropa, menurut Khairuddin, maju bukan karena mereka beragama Kristen dan bangsa Arab terbelakang karena beragama Islam. Kemajuan suatu bangsa, menurutnya, tidak ada hubungannya dengan agama. Jika agama Kristen yang menyebabkan kemajuan bangsa Eropa, pastilah Vatikan merupakan negara yang paling maju di dunia ini, bukannya yang paling terbelakang [Khairuddin; 1867, h. 8-10 dalam Hourani; 1983, h. 91]. Dengan kata lain, jika kaum Muslim mau mencontoh Eropa maka yang patut ditiru bukanlah agamanya, tapi syarat-syarat kemajuan yang mereka bangun selama ratusan tahun.
Wathaniyyah Islamiyyah
Berbeda dengan Thahtawi yang mengartikan konsep wathan dengan “negara,” Khairuddin memaksudkannya sebagai “ummah” dalam pengertiannya yang komunal. Konsep wathan yang dipahami Khairuddin lebih luas maknanya ketimbang konsep serupa yang dipahami Thahtawi. Karena menurut Khairuddin, konsep itu tak hanya mencakup warga Tunis atau warga Arab saja, tapi sebuah komunitas yang disatukan oleh ikatan agama. Dengan kata lain, wathaniyyahyang dimakusdkan Khairuddin adalah wathaniyyah-islamiyyah dan bukanwathaniyyah-syu’ubiyyah.
Pemahaman Khairuddin tentang konsep negara dalam pengertiannya yang luas itu merupakan refleksi dari sikap politiknya yang setia dan mendukung penuh terhadap khilafah Utsmaniyyah. Baginya, negara-negara Muslim harus disatukan dibawah satu kekuatan politik, dan kekuatan itu adalah khilafah. Sikap keberpihakan terhadap khilafah ini tak lepas dari pengalaman Khairuddin sendiri. Ketika ia masih menjabat sebagai Perdana Menteri, Tunis hampir-hampir dianeksasi oleh Perancis. Kalaulah dia tidak mengumumkan –kendati secara diplomatis—bahwa negara itu bagian tak terpisah dari Utsmaniyyah, kekuatan Perancis pasti tidak berpikir panjang untuk menyerang Tunis (baru setelah kekuatan Utsmaniyyah melemah, Perancis benar-benar masuk ke negara ini). 
Konsep “ummah” yang dibicarakan Khairuddin merupakan cikal-bakal konsep “pan-islamisme” yang belakangan dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan pengikut-pengikutnya. Agaknya, Khairuddin memang sulit keluar dari paradigma khilafah –seperti juga al-Afghani-- kendati ia pernah hidup dan merasakan atmosfer demokrasi di Perancis. Masa keci dan kedekatannya dengan keluarga kerajaan sangat menentukan sikap politiknya untuk tetap mendukung keberlangsungan khilafah Utsmaniyyah. Kendati demikian, Khairuddin sebetulnya berusaha kritis terhadap sistem khilafah yang diterapkan di Turki. Ia misalnya menyinggung kekuasaan para sultan yang sangat besar yang mengakibatkan sulitnya menerapkan kontrol jika mereka melakukan kesalahan-kesalahan.
Penerimaan Khairuddin terhadap konsep politik Islam sesunggunnya bukan hanya karena ia dekat dengan kekuasaan Utsmaniyyah. Tapi, karena ia meyakini bahwa sistem politik Islam jika diterapkan dengan benar juga tak jauh berbeda dengan sistem politik yang berlaku di negara-negara Eropa. Khairuddin membandingkan beberapa instrumen politik yang ada di Eropa. Misalnya, jika sistem politik modern memiliki pembantu kepala negara yang disebut “menteri” maka sistem pemerintahan Islam juga mengenal adanya “wazir” yang berfungsi sama. Begitu juga konsep “parlemen” yang sesungguhnya secara fungsional tak berbeda dengan “ahl al-hal wa al-‘aqd.”[]

Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

0 komentar:

Post a Comment