Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah lahir pada tanggal 8 Juni 1982 di kota Solo, dari pasangan Habib Umar bin Agil bin Umar Mauladawilah (asal kota Malang) dan Syarifah Sidah binti Abdullah bin Husen Assegaf (asal kota Solo).
Dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Februari 2007, ayah Habib Abdul Qadir wafat. Rencananya, sang ayah pada musim haji tahun ini akan berangkat haji. Tapi Allah SWT telah memanggilnya terlebih dahulu.
Dulu, saat orangtuanya menikah, yang menikahkan adalah Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah.
Setelah dikaruniai seorang putra, Habib Umar bin Agil Mauladawilah (ayah Habib Abdul Qadir, penulis buku ini) menemui Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan menyampaikan kabar tentang kelahiran putra pertamanya. Saat itu, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf-lah yang memberikan nama si anak yang baru lahir tersebut. Nama yang diberikan adalah sebagaimana namanya sendiri. Yaitu, Abdul Qadir.
Masa usia sekolah Habib Abdul Qadir dijalani seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Ia masuk Sekolah Dasar Negeri 7 Sukun, Malang, dan kemudian melanjutkannya ke SMP Negeri 12 Malang. Selepas jenjang sekolah menengah, ia melanjutkan pendidikannya pada Madrasah Aliyah Daaruttauhid Malang sambil mondok di Pondok Pesantren Daruttauhid, yang pada masa itu masih di bawah asuhan Ustadz Abdullah bin Awwadh Abdun. Ia menyelesaikan pendidikan aliyahnya ini pada tahun 2000.
Setelah selesai pendidikan MA, ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia masih meneruskan pendidikan diniyah di Pondok Pesantren Daruttauhid tersebut hingga tahun 2001, yaitu setelah gurunya, Ustadz Abdullah Abdun, wafat.
Sebelum masuk pondok, ia lebih fokus pada pendidikan umum dan sama sekali belum terpikirkan akan bergerak di bidang keagamaan. Kegiatan yang merupakan kegemarannya mengumpulkan dokumentasi di seputar habaib baru dimulai sejak tahun 1997, saat ia masuk Pesantren Daruttauhid.
Saat tinggal di pesantren tersebut, ia mulai merasakan adanya kenikmatan tersendiri saat berkumpul dan duduk dalam satu majelis bersama para habib. Ia pun kemudian mulai turut hadir pada acara-acara Maulid Nabi SAW ataupun haul para habib di sekitar Jawa Timu.
Seingatnya, setelah ia tinggal di Daruttauhid, acara yang pertama kali dihadirinya adalah haul Habib Shalih bin Muhsin Al-Hamid, Tanggul, Jember, Jawa Timur.
Dalam majelis-majelis ilmu seperti itu, baik di dalam pesantren sendiri maupun di acara-acara perayaan seperti acara haul, hatinya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ia merasakan kenikmatan bathiniah yang sukar dilukiskan.
Benarlah apa yang disebutkan dalam kalam Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi yang termaktub pada kitab Al-Manhaj As-Sawi, karya Habib Zen bin Ibrahim Bin Smith, “Duduk satu saat bersama orang-orang shalih, lebih bermanfaat bagi seorang hamba dari seratus atau seribu kali ‘uzlah (menyendiri, menyepi, menghindarkan diri atau mengasingkan diri dari lalu-lalangnya kehidupan duniawi demi penyucian diri – Red.).” Saat itu ia juga merasakan kenikmatan tersendiri kala memandang teduhnya wajah para habib yang datang pada acara-acara yang ia hadiri. Di hatinya pun mulai tumbuh rasa suka memandang wajah mereka, meskipun hanya lewat lembaran-lembaran fotonya.
Ia ingat, pertama kali foto yang didapatkannya adalah foto-foto Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan Habib Umar Bin Hud Al-Attas. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dapat dikatakan adalah salah satu tokoh terpenting habaib saat ini. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf ini pulalah orang yang telah menikahkan orangtuanya dan memberikan nama pada dirinya sewaktu ia lahir. Sementara Habib Umar Bin Hud Al-Attas adalah seorang wali besar dari kota Jakarta yang telah wafat beberapa tahun silam. Saat memandang kedua tokoh habaib tersebut, hatinya berdecak kagum.
Sebuah maqalah ulama dalam kitab Nashaih Al-‘Ibad, karya Syaikh Nawawi Al-Bantani, menyebutkan bahwa di antara manusia ada yang jika kita memandang wajahnya kita akan merasa bahagia. Demikianlah, dari sana kemudian timbul keinginan untuk mengabadikan momen-momen yang menyentuh hatinya tersebut, dan ia pun mulai aktif mengumpulkan foto-foto para habib.
Sejak dari acara haul Habib Shalih Tanggul yang pertama kali ia hadiri kala itu, ia mulai menikmati aktivitasnya mengambil gambar saat berlangsungnya acara dengan kamera seadanya yang ia miliki.
Tanpa disadarinya, keasyikan yang kemudian dijalaninya secara serius dalam mengumpulkan foto para habib dari sejak ia masih nyantri di Daruttauhid, merupakan titik tolak penting dalam perjalanan hidupnya kelak.
Dalam salah satu kalamnya, Asy Syaikh Abubakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang tidak bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di penghabisannya.” Sekalipun kalam itu lebih ditujukan pada konteks mujahadah an-nafs (kesungguh-sungguhan dalam perjuangan melawan keinginan syahwat dan berbagai kecenderungan jiwa rendah), dari keumuman redaksi kalimat yang digunakan, konteks permasalahannya dapat diperluas. Terkait dengan kalam tersebut, perjalanan hidup Habib Abdul Qadir ini juga dapat menjadi hikmah bagi siapa pun yang menjalani segala kebaikan secara bersungguh-sungguh.
Title Post: Kenikmatan Memandang Wajah Habaib
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Post a Comment