M. Shahrur:Figur Fenomenal dari Syria

Oleh Ahmad Fawaid Sjadzili
Shahrur, satu dari sekian banyak intelektual Arab kontemporer, yang sedikit banyak mewarnai dialektika pemikiran Arab kontemporer. Khususnya melalui karyanya yang berjudul al-Kitâb wa al-Qur`an: Qirâ`ah Muâ’shirah, Shahrur berupaya menggugat monopoli pembacaan teks suci dan berupaya meruntuhkan metode yang ditawarkan ulama klasik yang cenderung unscientific.


Syahrur1.gifKota Syria dengan ibukota Damaskus,
tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam belantika
pemikiran di dunia Islam, baik sosial, politik, budaya, dan intelektual (J
Gilbert: 1977). Kota yang sempat menjadi ibukota wilayah kekuasaan Bani Umayah
ini, terbukti melahirkan banyak figur pemikir dari berbagai ragam disiplin ilmu
pengetahuan, termasuk yang paling mutakhir adalah Muhammad Shahrur.


Dr. Ir. Muhammad Shahrur (untuk
selanjutnya disebut Shahrur) merupakan seorang insinyur berkebangsaan Syria,
dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1938. Shahrur mengawali karir intelektualnya
pada pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, tepatnya di lembaga
pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus. Pendidikan menengahnya ia
rampungkan pada tahun 1957 dan segera setelah menuntaskan pendidikan
menengahnya, Shahrur melanjutkan studinya ke Moskow, Uni Suviet untuk
mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa pemerintah setempat.
Di negara inilah, Shahrur mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran
marxisme, sungguhpun ia tidak mendakwa sebagai penganut aliran tersebut.
(Charles Kurzman, 1998).  Namun demikian, ia mengakui banyak berhutang budi pada
sosok Hegel –terutama dialektika-nya—dan  Alfred North Whitehead (Peter Clark,
1996). Gelar diploma dalam bidang tersebut, ia raih pada tahun 1964. 




Setelah meraih gelar diploma, tahun
1964, Shahrur kembali ke Syria untuk mengabdikan dirinya sebagai dosen pada
Fakultas Teknik di Universitas Damaskus. Dan, pada tahun yang bersamaan, Shahrur
melanjutkan studi ke Irlandia, tepatnya di University College, Dublin dalam
bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur berhak untuk melakukan
penelitian pada Imperial College, London. Pada bulan Juni tahun itu, terjadilah
perang antara Inggris dan Syria yang mengakibatkan renggangnya hubungan
diplomatik antara dua negara tersebut. Namun hal tersebut tidak menghambatnya
untuk segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia segera berangkat kembali ke
Dublin untuk menyelesaikan program Master dan Doktor-nya di bidang mekanika
pertanahan (soil mechanich) dan teknik bangunan (foundation engineering). Gelar
Doktor-nya ia peroleh pada tahun 1972. Sejak tahun itulah, Shahrur secara resmi
menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus hingga sekarang. 


Selain sebagai dosen, Shahrur juga
menjadi konsultan teknik. Pada tahun 1982-1983, Shahrur dikirim pihak
universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain
itu, bersama beberapa rekannya di Fakultas, Shahrur membuka biro konsultan
teknik (an engineering consultancy/dar al-Istisyârat al-Handasiyah) di Damaskus. 


Tampaknya, perhatian Shahrur terhadap bidang
teknik tidak menghalanginya untuk mendalami disiplin ilmu yang lain semisal
filsafat, terutama setelah perjumpaannya dengan Dr. Ja’far Dek al-Bab –rekan
se-almamater di Syria dan teman se-profesi di Universitas Damaskus.
Perjumpaannya telah memberi arti yang cukup berarti dalam pemikirannya yang
kemudian tertuang dalam sebuah karya monomentalnya sekaligus “kontroversial”
yaitu al-Kitâb wa al-Qur`an: Qirâ`ah Mu’airah.


Sebagaimana diakuinya, buku tersebut
disusun selama kurang lebih dua puluh tahun, tepatnya mulai tahun 1970-1990.
Dalam pengantar buku tersebut, Shahrur menjelaskan proses penyusunan buku
tersebut sekaligus sejauh mana pengaruh rekannya -Dr. Ja’far Dek al-Bab- dalam
perumusan metodologi yang ia tawarkan dalam buku tersebut. Setidaknya ada tiga
tahapan dalam penyusunan buku tersebut. Tahap pertama (1970-1980). Masa ini
diawali ketika beliau berada di Universitas Dublin. Masa ini merupakan masa
pengkajian (murâja’âat) serta peletakan dasar awal metodologi pemahaman
al-dzikr, al-kitab, al-risalah, al-nubuwah dan sejumlah kata kunci lainnya.
Tahap kedua (1980-1986). Masa ini merupakan masa yang penting dalam pembentukan
“kesadaran linguistik”nya dalam pembacaan kitab suci. Pada masa ini ia berjumpa
dengan teman se almamaternya– Ja’far Dek- yang menekuni Linguistik di
Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Shahrur banyak diperkenalkan dengan
pemikiran linguis Arab semisal al-Farra’, Abu Ali al-Farisi, al-Jinny, serta
al-Jurjani. Melalui tokoh-tokoh tersebut, Shahrur memperoleh tesis tentang tidak
adanya sinonimitas (‘adamu al-tarâduf) dalam bahasa. Sejak tahun 1984, Shahrur
mulai menulis pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat yang tertuang
dalam kitab suci. Melalui diskusi bersama Ja’far Dek, Shahrur berhasil
mengumpulkan hasil pikirannya yang masih terpisah-pisah. Tahap ketiga
(1986-1990). Shahrur mulai mengumpulkan hasil pemikirannya yang masih
berserakan. Hingga tahun 1987, Shahrur telah berhasil merampungkan bagian
pertama yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Segera setelah itu, bersama Ja’far
Dek, Shahrur berhasil menyusun “hukum dialektika umum” yang ia bahas di bagian
kedua buku tersebut. Pada tahun 1990, cetakan pertama buku ini diterbitkan. 


Buku tersebut, untuk pertama kali
diterbitkan oleh al-Ahali Publishing House, Damaskus dan mengalami sukses luar
biasa dan dinilai sebagai salah satu buku terlaris (bestseller) di Timur Tengah.
Terbukti, buku tersebut mengalami cetak ulang dari kurang lebih 20.000 eksemplar
buku yang telah terjual. Bahkan, versi bajakan dan foto copy banyak beredar di
banyak negara semisal Lebanon, Yordania, Mesir, Jazirah Arab,dan (termasuk)
Indonesia. Tentunya, kehadiran karya tersebut menimbulkan respon yang beragam,
baik pro maupun kontra.


Bagi kalangan yang kontra, gagasan dekonstruktif 
Shahrur dinilai sebagai an enemy of Islam dan “a western zionist agent”. 
Gugatan terhadap bukunya, sempat mewarnai polemik di berbagai media, baik cetak
maupun elektronik di Timur Tengah. Dr. M. Sa’id Ramdlan al-Buthy, misalnya,
disebuah jurnal Timur Tengah –Nahjul Islam- menulis gugatan dengan tajuk
“al-Khilfiyah al-Yahûdiyah li Syi’âri Qirâ`ah Mu’â
ºirah”.
Lebih lanjut Dr. Syauqi Abu Khalil sembari mengulangi gugatan al-Buthy
menganggap karya Shahrur sebagai  perpanjangan tangan zionis (tanfidlan
liwashiyati al-shahyûniyah). Sementara gugatan yang berbentuk buku dapat disebut
misalnya, Salim al-Jabi, MA. Melalui bukunya yang  bertajuk Al-Qirâ`ah
al-Mu’ashirah li al-Duktûr Shahrûr: Mujarradu Tanjimin (3 Volume) (1991), Al-
Jabi menganggap karya Shahrur “hanyalah dugaan semata” (mujarradu tanjîmin).
Gugatan serupa dilancarkan oleh Thahir al-Syawwaf. Melalui bukunya, Tahâfutu al-
Qirâ`ah al- Mu’âshirah (1993) menilai karya Shahrur telah “diracuni” idiom-idiom
dan retorika Marxian. Selain itu, Jamal al-Banna juga menulis sebuah catatan
dalam salah satu seri bukunya, Nahwa Fiqhin Jadîdin (t.t); Nasr Hamid Abu Zayd
dalam bagian bukunya yang berjudul al-Nasshu, al-Sulthah, al-Haqiqah: Bayna
Iradati al-Ma’rifah wa Iradati al-Haymanah dan Dawa’iru al-Khau: Qira’ah fi
al-Khithab  al-Mar’ah.


Selain itu, tudingan yang tidak
kalah pedasnya, sebagaimana diungkapkan Dale F. Eickelman bahwa pada tahun 1993,
seorang penjual buku di Kuwait menganggap bahwa buku Shahrur “lebih berbahaya
daripada Satanic Verses-nya Salman Rusydie, mengingat Shahrur menulis karya
tersebut dalam kapasitasnya sebagai pemeluk Islam sebagaimana kita”. (Dale F.
Eickelman dan James Piscatori, 1996). Anggapan bahwa pemikirannya berbahaya,
menyebabkan sebagian pemerintah negara-negara Arab, semisal Arab Saudi, Mesir,
Qatar, dan Emirat Arab secara resmi melarang peredaran buku tersebut di
negaranya.( Eikelman dalam Syahiran Syamsuddin).


Sebaliknya, bagi kalangan yang
setuju dengan pemikirannya memberikan penilain positif. Bahkan, Sultan Qaboos di
Oman mendistribusikan buku tersebut di kalangan para mentrinya dan
merekomendasikan mereka untuk membacanya (Eikelmann). Selain itu, para scholar
non-Muslim semisal Carles Kurzman, Wael B. Hallaq –khususnya dalam bukunya, A
History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Ushul Fiqh
–yang
lebih menyoroti teori ushul fiqh-nya, Dale F. Eickelman, dan Peter Clark
mengemukakan kekagumannya terhadap pemikirannya yang kreatif dan inovatif. 


Pada tahun 1994, al-Ahali Publishing
House kembali menerbitkan karya kedua Shahrur, yaitu “Dirâsât al-Islâmiyât
al-Mu’âshirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’”
. Buku ini secara spesifik
menguraikan tema-tema sosial politik yang terkait dengan persoalan warga negara
(civil) maupun negara (state). Secara konsisten, Shahrur menguraikan tema-tema
tersebut dengan senantiasa terikat pada tawaran rumusan teoritis sebagaimana
termaktub dalam buku pertamanya.


Selain itu, pada tahun 1996, Shahrur mengelurkan
karya terbarunya dengan tajuk al-Islâm wa al-Imân: Mandûmu al-Qiyam
dengan penerbit yang sama. Buku ini mencoba mendekonstruksi konsep klasik
mengenai pengertian dan pilar-pilar (arkan) Islam dan Iman. Tentunya,
kajian-kajiannya diarahkan pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang termaktub
dalam kitab suci dengan senantiasa setia pada rumusan teoritis yang ia bangun.
Dan, karya terakhir (paling tidak menurut pengetahuan penulis) adalah “Mi
útsâq
al-‘Amal al-Islamy

(1999) yang juga diterbitkan oleh al-Ahali Publishing House. Dalam edisi Bahasa
Inggris, buku tersebut diterjemah oleh Dale F. Eikelman dengan judul “Proposal
For an Islamic Covenant”
 (2000)


Selain karyanya yang berbentuk buku,
Shahrur juga banyak menulis artikel di beberapa majalah dan jurnal, seperti
Islam and the 1995 Beijing World Conference on Women dalam Koran Kuwait yang
kemudian diterbitkan dalam buku Liberal Islam: a Soucebook; The Devine Text and
Pluralism in Muslim Societies dalam Muslim Politic Report, dan lain-lain.


Shahrûr dalam Konstelasi Intelektual
Arab Kontemporer


Di awal abad XIX, teriak kebangkitan
menggema di seluruh belahan dunia Arab. Fenomena apa yang disebut Arkoun dengan
ledakan modernitas ini ditandai oleh kesadaran diri dunia Arab atas kelemahannya
vis a vis Barat yang telah mengalami kebangkitan material dan intelektual.
Berawal dari krisis yang terjadi di dunia Arab abad pertengahan akibat hilangnya
ruang berfikir kritis (akibat kritik al-Ghazali terhadap falâsifah) di satu
pihak dan akibat invasi Mongol ke Baghdad dan kemudian belanjut dengan ekspedisi
Napoleon Bonaparte terhadap Mesir di pihak lain, dunia Arab mengalami krisis
yang demikian akut.


Segera setelah krisis yang demikian
kompleks yang terjadi saat itu, dunia Arab mulai menyadari kelemahan dirinya
dengan melakukan kritik diri (auto critique) atas kekurangannya. Kritik diri
yang tanpa henti, menyadarkan ulama untuk memainkan peran utama
mengkoordinasikan perjuangan melawan kekuasaan kolonial, yang akhirnya
melahirkan kemenangan negara terjajah (dunia Arab) (Abu Bakar A. Bagader, 1994).
Baik faktor internal maupun eksternal di atas, dapat dikatakan telah memberikan
inspirasi pada munculnya kebangkitan dunia Arab. Menyikapi kondisi demikian,
respon dan jawaban yang diberikan tidaklah seragam: mulai dari penolakan dan
konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan yang naif.


Beragamnya respon yang muncul
setidaknya disebabkan oleh dua faktor yang mendasar. Pertama, dinamisme
pemikiran dunia Arab-Islam modern. Kedua, beragamnya afiliasi sosio-politik, dan
ideologi para pemimpinya (Ibrahim M. Abu Rabi’, 1996). Karena alasan ini,
teramat sulit memetakan tipologi pemikiran yang berkembang di dunia Arab baik
dari awal hingga saat ini. Rumitnya tipologi ini di samping karena beragamnya
gagasan yang dimiliki, intelektual Arab juga tidak terikat oleh style pemikiran
yang linear dan absolut melainkan senantiasa mengalami perubahan dan
perkembangan seiring dengan tuntutan realitas (Zuhairi Misrawi, 2000).


 Munculnya beberapa tokoh
intelektual dalam bursa pemikiran Arab di penghujung abad XX, menandai trend
baru pemikiran Arab saat ini. Sebuah trend yang kerap disebut sebagai pemikiran
Arab kontemporer yang bermula sejak kekalahan Arab oleh Israel tahun 1967.
Kekalahan Arab terhadap Israel tersebut merupakan titik yang menentukan dalam
sejarah politik dan pemikiran Arab modern (Luthfi Syaukani, 1996).


Shahrur, satu dari sekian banyak
intelektual Arab kontemporer, yang sedikit banyak mewarnai dialektika pemikiran
Arab kontemporer. Khususnya melalui karyanya yang berjudul al-Kitâb wa
al-Qur`an: Qirâ`ah Muâ’shirah, Shahrur berupaya menggugat monopoli pembacaan
teks suci dan berupaya meruntuhkan metode yang ditawarkan ulama klasik yang
cenderung unscientific. Gugatan tersebut tidak serta-merta diarahkan pada ulama
klasik yang karyanya menempati posisi yang berharga di masanya, melainkan kepada
generasi selanjutnya yang memposisikan turaœ pada wilayah yang tak dapat didebat
(ghairu qâbil lin-niqâs). Konsekuensinya, mereka sulit melepaskan diri dari
jeratan masa lalunya dan mereka menduga bahwa produk pemikiran pendahulunya
melampaui ruang dan waktu (shalih li kulli zamânin wa makânin). 


Dalam konteks ini, Shahrur memetakan
dua model aliran yang berkembang dalam masyarakat Arab saat ini. Pertama,
skripturalis-literalis. Kelompok ini secara ketat dan kaku berpegang pada
warisan masa lalunya. Khazanah yang telah mereka warisi dari pendahulunya diduga
menyimpan kebenaran absolut. Oleh karenanya, menghadirkan masa lalu untuk
menyelesaikan problem saat ini merupakan hal yang diidamkan.


Kedua, kelompok yang menyerukan
sekularisme dan modernitas. Kelompok ini secara a priori menolak warisan Islam.
Pemimpin kelompok ini adalah kaum marxis, komunis, dan beberapa kelompok
pengagum nasionalisme Arab. Dalam kenyataannya, kelompok ini gagal memenuhi
janjinya untuk menyediakan modernitas bagi masyarakatnya, mengingat kata
Shahrur, persoalan Arab saat ini bukanlah sekularisme (atau modernitas)
melainkan demokrasi. Dengan demokrasi diandaikan tercipta ruang publik (public
sphere) yang bebas bagi munculnya bursa gagasan dan dengan demikian bisa
menghargai pluralitas.


Melengkapi dua taksonomi tersebut,
Shahrur menambah satu model yang mencoba menengahi dua kecenderungan di atas,
yaitu kembali ke teks (return to texts), sembari memposisikan dirinya sebagai
pengusung kelompok ini. Apa yang dimaksud dengan kembali ke teks menurut Shahrur
adalah upaya membaca kitab suci dengan perangkat epistemologi yang diturunkan
dari teks suci. Tentu saja, “kembali kepada teks” menurut Shahrur akan berbeda
dengan apa yang dipahami kelompok islamisis, atau dalam istilah Kurzman,
revivalist Islam yang selalu menggunakan slogan “kembali kepada al-Qur`an dan
Sunnah”. Karena alasan ini, Kurzman memasukkan Shahrur dalam kategori Liberal
Islam, sebuah kategari pemikiran yang berlaku kritis baik terhadap customary
Islam maupun revivalist Islam.

Tidak seperti halnya
pemikir Islam yang lain, semisal Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Nawal
Sya’dawi, Arkoun, dan ‘Abid al-Jabiri, Shahrur relatif belum begitu banyak
diperbincangkan. Diduga, karena Shahrur kurang memiliki “konsituen ilmiah” yang
bisa menjadi semacam mediasi inteluktual yang kemudian bisa menyebarkan
pikiran-pikirannya, di samping (mungkin) karena ruang gerak Shahrur yang hanya
berkutat dalam komunitas studi teknik. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa
tawaran pemikirannya tidak sama sekali diindahkan. Terbukti beberapa penulis,
semisal Peter Clark, Dale F. Eickelman, Charles Kurzman dan Wael B. Hallaq,
sedikit banyak memperkenalkan gagasannya. Namun sayang, gagasan-gagasannya lebih
diterima komunitas ilmiah Eropa ketimbang dunia Arab –sebuah lingkungan
geografis dan ideologis yang melahirkan dan membesarkannya. Lebih parah lagi,
dalam komunitas Arab, gagasannya lebih menjadi sasaran hujatan ketimbang sebagai
tawaran akademis. Peter Clark menggambarkan bahwa “Shahrur’s Islamic society
has more in common with european and American countries than any in the Arab or
Islamic world today. He has, not surprisingly, been the subject of criticism”
. []
Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

0 komentar:

Post a Comment