Khalifah Dinasti Umayyah
Ketika memegang tampuk pemerintahan Islam sesudah al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Dinasti Umayyah melanjutkan tradisi kerajaan-kerajaan pra-Islam di Timur Tengah. Sikap ini mengundang kritik keras dan oposisi, terutama dari golongan khawarij dan syi’ah. Usaha menekan kelompok oposisi terus dijalankan bersamaan dengan usaha memperluas wilayah Islam, hingga Afrika Utara dan Spanyol.
Munculnya Khalifah Dinasti Umayyah
Bani Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy. Keturunan Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf, seorang pemimpin suku Quraisy yang terpandang. Umayyah bersaing dengan pamannya, Hasyim bin Abdul Manaf (1.464), dalam merebutkan kehormatan dan kepemimpinan masyarakat Quraiys. Uamyyah dinilai memiliki cukup persyaratan untuk menjadi pemimpin dan dihormati oleh masyarakat. Ia berasal dari keluarga bangsawan kaya dan mempunyai sepuluh putra. Pada zaman pra-Islam, orang yang memiliki ketiga kelebihan itu berhak memperoleh kehormatan dan kekuasaan.[1]
Sebagian besar anggota keluarga Bani Umayyah menentang Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan Islam, setelah Nabi Muhammad SAW pindah dari Makkah ke Madinah dan berhasil mendapatkan pengikut di kota tersebut, sikap permusuhan Bani Umayyah belum berakhir. Mereka memimpin orang Quraisy Makkah untuk menentang dan memerangi Nabi SAW serta pengikutnya. Peperangan pun terjadi beberapa kali, namun mereka tidak berhasil mengalahkan Nabi SAW.
Permusuhan Bani Umayyah berakhir setelah Nabi SAW dan para pengikutnya berhasil memasuki kota Makkah (tahun 8 H/630 M). Merasa tidak mampu melawan akhirnya Bani Umayyah menyerah kepada Nabi SAW dan bersedia masuk Islam. Bani Umayyah tergolong yang belakang masuk Islam. Setelah masuk Islam, mereka memperlihatkan loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap agama tersebut. Dalam setiap peperangan yang dilakukan oleh kaum Muslimin misalnya, mereka tampil dengan semangat kepahlawanan, seolah-olah ingin mengimbangi keterlambatan mereka masuk Islam dengan berbuat jasa besar kepada Islam.
Karena sikap baik, ada diantara mereka yang dipercayakan untuk menduduki jabatan penting. Mu’awiyyah bin Abu Sufyan (21 SH / 602 M – 60 H / 600 M) misalnya pada masa Nabi SAW diangkat menjadi penulis wahyu dan pada masa khalifah Umar bin Khattab (42 SH / 581 M – 23 H / 644 M) diangkat pada tahun 641 sebagai Gubernur di Suriah. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan (47 SH / 576 M – 35 H / 656 M). Bani Umayyah juga mendapat banyak keuntungan, pemberian hadiah dan jabatan, kekuasaan yang membentang dari Suriah sampai Pantai Laut Tengah. Ia memanfaatkan masa tersebut untuk mempersiapkan diri dan meletakkan dasar pendirian sebuah dinasti. Harapan itu lebih besar terbuka setelah Utsman bin Affan di bunuh pada tahun 656 oleh para pemberontak yang menentang kebijakan nepotisme dan penyalahgunaan harta baitul mal untuk keperluan pribadi dan keluarga.
Ketika Ali bin Abi Thalib (603 M – 40 H / 661 M), yang diangkat oleh sahabat Nabi SAW di Madinah sebagai khalifah pengganti Utsman, memerintahkan Umayyah untuk menyerahkan jabatan, ia menolak. Sebaliknya, ia malah menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan Utsman atau paling tidak melindungi pemberotak yang melindunginya. Sikap Mu’awiyyah yang menentang Ali di pandang sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan harus diperangi sampai taat kembali, hingga akhirnya Ali dan pasukannya segera berangkat untuk memerangi Mu’awiyyah di Suriah. Sebelum pertempuran itu terjadi, Ali mengutus delegasi, mengirim surat agar Mu’wiyyah mengakuinya serta bersatu dengannya. Namun usaha itu gagal dan terjadilah peperangan dan hampir saja dimenangkan Ali, namun ‘Amr bin As dari Mu’awiyyah mengangkat al-Qur’an dengan tombak sebagai simbol perdamaian.
Kedua pihak setuju memilih seorang hakam (perantara) sebagai perunding dan pencari jalan penyelesaian sengketa. Pihak Mu’awiyyah memilih Amr bin Ash dan dari Ali, Abu Musa al-‘Asy’ari (sahabat Nabi SAW, w. 72/53 H) yang disetujui mayoritas penduduk Irak. Tahkim tersebut berakhir dengan kekecewaan di pihak Ali. Ketika Abu Musa mengumumkan turunnya Ali dari jabatannya, Amr bin Ash segera menyetujuinya dan menetapkan Mu’awiyyah sebagai khalifah. Tahkim ini jelas menguntungkan Mu’awiyyah, dan dari pihak Ali terjadi perpecahan tentara yang menamakan khawarij. Dan khawarij berpendapat bahwa yang terlibat dalam tahkim telah melakukan dosa besar hingga wajib di bunuh / bertaubat. Rencana tersebut ternyata tidak sepenuhnya berhasil, Ibnu Muljam (pengikut khawarij) 661 hanya berhasil membunuh Ali ketika Ali ke Masjid Kuffah. Adapun Mu’awiyyah dan Amr bin Ash selamat dari rencana tersrbut.
Khalifah Dinasti Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyyah yang menjadi awal kekuasaan Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi Monarchiheridatis (kerajaan turun temurun). Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun yang menjadi khalifah di dalam Dinasti Umayyah berasal dari dua keluarga, yaitu keluarga Harb dan Abi al-As. Khalifah-khalifah besar Dinasti Bani Umayyah ini adalah Mu’awiyyah ibn Abi Sufyan (661-680 M). Abd al-Malik ibn Marwan (685 – 705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn al-Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724 – 748 M).
Pemerintahan Keluarga Harb
Mu’awiyah adalah khalifah pertama dinasti Umayyah dari garis Harb yang secara resmi menjadi khalifah pada tahun 41 H. Muawiyyah dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan keras, tetapi penuh toleransi dan lapang dada. Sifat demikian melapangkan jalan bagi Muawiyyah untuk memperkukuh posisi politik.
Dalam mengendalikan pemerintahan, Mu’awiyyah di dukung oleh beberapa pembatu utama dalam mengatasi berbagai kesultanan, diantaranya Amr bin As (Gubernur Mesir); Mugirah bin Syu’bah (Gubernur Kuffah) kota barat sungai Eurafat (Irak); Ziyad bin Abihi (Gubernur Persia); Ubaidillah bin Ziyad (Gubernur di Basra) hingga wafatnya Muawiyyah tahun 680.
Masa Mu’awiyyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dan mengatarkan negara dan rakyatnya kepada kemakmuran serta kekayaan meliputi perluasan wilayah hingga Afrika Utara, wilayah Khurasan dan Bukhara (Turkistan) setelah menyeberangi sungai Oxus.
Pemerintahan Keluarga Abi al-As
Sesuai dengan wasiat Marwan, Abdul Malik menggantikannya sebagai khalifah. Abdul Malik berhasil menyatukan kembali wilayah Bani Umayyah sesuai wasiat ayahnya yang dikuasai oleh Abdullah bin Zubair yang mengumumkan dirinya sebagai khalifah dan menumpas pemberontakan kaum Syi’ah serta pembangkangan kaum Khawarij.
Ekspansi ke timur secara besar-besaran dilanjutkan oleh Abdul Malik sebagai penerus dari Muawiyyah. Dia berhasil menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarijzm, Ferhana dan Samarkandi. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Baukhistan, Sina dan Punjab sampai ke Malta.
Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Abdul Malik juga banyak meninggalkan jasa, diantaranya mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam pada tahun 659 juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintah dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
Walid bin Abdul Malik (705 – 715 M)
Setelah Abdul Malik bin Marwan wafat pada tahun 86 H / 705 M. Putranya Walid bin Abdul Malik menggantikannya sebagai khalifah. Dia mempunyai sifat kemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti untuk orang cacat, juga membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan yang megah dan masjid-masjid. Masa pemerintahan Walid menampakkan kejayaan Dinasti Umayyah. Wilayah kekuasaannya pun bertambah luas sampai ke Spanyol di Barat dan Sina (India) di Timur.
Umar ibn Abd Aziz (717-720 M)
Umar bin Abdul Aziz dilantik pada tahun 99 H / 717 M. Ia dikenal dengan kesederhanaan, keadilan dan kebijaksaannya. Selama masa pemerintahannya, Umar melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, speerti perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur baru, penginapan bagi musafir dan lain-lain.
Terhadap pihak yang menentang Bani Umayyah, seperti golongan Khawarij dan syi’ah, Umar bersikap lunak. Mereka tidak diperangi, tetapi diajak berdikusi dan membina saling pengertian ia melancarkan dakwah Islam dengan cara bijaksana dan persuatif hingga penduduk yang belum beragama Islam masuk ke Islam, juga melindungi penduduk Mesir, Suriah dan Persia yang berstatus sebagai kaum Zimmi (warga non muslim yang berada di wilayah negara Islam) dengan kewajiban membayar Jizyah / pajak.
Hasyim ibn Abd al-Malik (724 – 743 M)
Saat menjadi khalifah, Hasyim menghadapi banyak masalah dalam negeri yang menyita perhatiannya. Bahkan di zaman ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah, kekuatan itu berasal dari Bani Hasyim yang di dukung oleh golongan Mawali. Kemelut politik di Irak, khususnya Khurasan, mendorongnya berkali-kali mengganti Gubernur di daerah ini. Sungguhpun demikian, Khurasan tidak juga tenang dari kerusuhan. Sentimen kesukuan Arab Utara dan Selatan adalah penyebab runtuhnya Dinasti Umayyah. Walaupun sebenarnya Hasyim ibn Malik adalah seorang Khalifah yang kuat dan terampil. Akhirnya pada tahun 750 M, daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn al-Muthalib. Dan gerakan ini didukung penuh oleh Bani Hasyim dan golongan Syi’ah serta kaum Mawali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. H. Abd. Chair, Dinasti Umayyah
2. M.A Shoban, Sejarah Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
3. Drs. H. Sulomo, Sejarah Kebudayaan Islam, CV. Wicaksana, Semarang.
Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Post a Comment