Madzhab Dan Perkembangannya


Hari demi hari kaum muslimin dewasa ini selalu mendapakan ujian pengkaburan nilai-nilai agamanya. Pengkaburan ini dilakukan dengan slogan perbedaan madzhab, sehingga akhirnya istilah madzhab dijadikan pembungkus kebid ‘ahan dan penyelewengan dalam agama. Realita yang ada menunjukkankan juga istilah madzhab memiliki konotasi taqlid, oleh karena itu perlu sekali kita melihat sejarah perkembangan pemikiran kaum muslimin dalam permasalahan ini walaupun secara singkat.
Pengertian madzhab
Kata Madzhab berasal dari kata bahasa Arab َهَبَ ذ- يَذْهَبُ – ذَهَابًا – ذُهُوْبًا – مَذْهَبًا bermakna berjalan (pergi) atau lewat, sedangkan الْمَذْهَبُ bermakna i’tiqad (keyakinan), jalan dan ushul yang dijalankannya [1], seperti pernyataan : “Madzhab kami adalah madzhab sepuluh orang yang dijamin masuk syurga dan Ahmad”[2].
Jadi, istilah madzhab sebenarnya mencakup juga keyakinan dan aqidah, sehingga sering digunakan para ulama untuk menyatakan keyakinan dan akidah ahlussunnah, seperti pernyataan Imam Al Shabuni ketika menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah : “Dan termasuk madzhab Ahli Al Hadits, Imam adalah perkataan dan perbuatan serta ma’rifah (ilmu), bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan”[3]. Demikian juga beliau menyatakan : “Diantara madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah” [4]
Dengan demikian, salahlah bila seorang yang fanatis terhadap satu madzhab misalnya madzhab Syafi’i, lalu hanya mengambil madzhab beliau dalam fiqih dan meninggalkan aqidah yang diyakini beliau. Seperti kebanyakan pengikut madzhab yang ada, mereka ngotot menyatakan dirinya bermadzhab namun jauh dari keyakinan dan amalan imam yang diikutinya tersebut.

Sejarah Perkembangan madzhab-madzhab yang menyimpang
Umat islam di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah umat yang satu dan bersatu mengikuti seluruh petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . namun semakin jauh dari masa kenabian dan jauh dari kota Madinah maka bermunculanlah madzhab-madzhab yang menyimpang dan kebid’ahan. Kota-kota yang dihuni banyak para sahabat relatif lebih sulit dan sedikit kebid’ahannya dibandingkan yang lainnya, sebab disanalah berkembang ilmu dan iman. Kota-kota tersebut adalah Makkah, Madinah, Bashroh, Kufah dan Syam. Dari kota-kota tersebut kota Madinahlah yang tidak muncul kebidahan sampai selesai masa tabiit Tabiin sedangkan yang lainnya telah bermunculan kebidahan. Kota Kufah muncul kebidahan syi’ah dan Murji’ah, kota Bashroh muncul Qadariyah, mu’tazilah dan shufiyah dan kota Syam muncul bidah Nawashib [5]. Bahkan kota Madinah tidak berkembang kebidahan sampai zaman murid-murid imam Malik yang merupakan kurun keempat.
Syaikhul Islam menceritakan perkembangan kebid’ahan dalam umat ini: “Ketahuilah umumnya kebid’ahan yang berhubungan dengan aqidah dan ibadah, hanyalah terjadi pada umat islam di masa-masa akhir kekhilafahan Khulafaa’ Rasyidin, sebagaimana diberitakan RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya :
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
Barang siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para kholifah Rasyidin“..[6][7]
Kemudian beliau menyatakan: “Ketika negara khulafa’ Rasyidin habis dan jadilah kerajaan, maka muncullah kekurangan pada pemerintah dan ini mesti diikuti juga dengan kemunculan hal tersebut pada ulamanya, sehingga muncullah pada kekhilafahan Ali bin Abi Tholib dua kebid’ahan yaitu Khawarij dan Rafidhah. Dua kebidahan ini berhubungan dengan masalah imamah dan khilafah serta yang yang berhubungan dengan hal itu dari amalan dan hukum-hukum syari’at “[8].
Dalam pernyataan lainnya beliau menyatakan: “Ketika terjadi perpecahan setelah terbunuhnya khalifah Utsman muncullah kebidahan khawarij dan muncul juga syi’ah dengan 3 alirannya. Yang ekstrim dibakar oleh Ali bin Abi Tholib, Syiah Mufadholah dicambuk delapan puluh kali oleh Ali dan aliran Saba’iyah yang imam Ali ancam dan Ibnu Saba’ dicari untuk dibunuh namun berhasil melarikan diri”[9].
Kemudian setelah pemerintahan Mu’awiyah dan Yazid bin Mu’awiyah umat Islam berpecah belah. Ibnu Taimiyah menyatakan: “Kemudian Yazid meninggal dunia dan umat Islam berpecah belah, Ibnu Az Zubair memerintah di Hijaaz, Banu Al Hakam memerintah di Syam dan Al Mukhtar bin Abu Ubaid dan lainnya merebut Iraq. Dan ini terjadi di akhir masa shahabat dan masih tersisa pada mereka sahabat seperti Abdullah bnu Abas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al Khudri dan sejawatnya. Pada masa inilah muncul bidah Qadariyah danMurji’ah. Lalu para sahabat seperti Ibnu Abas, Ibnu Umar[10], Jabir[11] dan Watsilah bin Al Asqaa’ serta yang lainnya membantahnya dengan tetap membantah kebidahan khawarij dan rafidhoh. Pada umumnya madzhab Qadariyah ketika itu hanya berbicara pada masalah amalan hamba (A’maal Al Ibaad) sebagaimana Murji’ah pun berbicara dalam permasalahan ini, sehingga mereka hanya berbicara tentang masalah taat dan maksiat, Mu’min dan fasiq dan yang sejenisnya dari masalah Asma Wa Ahkaam [12] dan Al Wa’d wa Al Wa’id [13] dan belum berbicara lagi tentang Rabb dan sifat-sifatNya kecuali di akhir-akhir masa shighor tabiin tepatnya di akhir kekhilafahan bani Umayah diawal abad ketiga –Tabi’ut Tabiin- ketika kebanyakan mereka telah wafat” [14].
Kemudian beliau menuturkan kembali dalam pernyataannya: “Lalu sebagian kitab-kitab Persia, India dan Rumawi dialih bahasakan kebahasa Arab dan muncullah apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ حَتَّى يَشْهَدَ الرَّجُلُ وَ لاَ يُسْتَشْهَدُ وَ يَحْلِفُ وَلاَ يُسْتَحْلَفُ
Kemudian tersebarlah kedustaan sampai seseorang bersaksi dan tidak dimintai persaksian dan bersumpah tanpa diminta bersumpah“.
Lalu muncullah tiga kebidahan yaitu Ar Ra’yu [15], Al Kalam dan Tashawuf. Kemudian muncul bidah tajahhum (jahmiyah) yaitu bidah penolakan sifat-sifat Allah, lalu muncul juga bid’ahtamtsil” [16].
Ibnu Taimiyah menyatakan tentang kemunculan Jahmiyah ini dalam pernyataannya: “Adapun Jahmiyah, maka mereka muncul di akhir zaman Tabi’in setelah wafatnya Umar bin Abdil Aziz. Kemunculan Jahm bin Shafwan di Kota Khurasaan di zaman kekhilafahan Hisyam bin Abdilmalik” [17].
Ibnu Al Qayyim menyampaikan kepada kita ringkas sejarah yang dipaparkan guru beliau diatas dengan pernyataan: “Bidah Qadariyah muncul diakhir masa sahabat, lalu sahabat yang masih hidup seperti Abdullah bin Umar, Ibnu Abas dan yang semisalnya mengingkarinya, kemudian muncul bidah Irja’ (murji’ah)setelah habis masa sahabat lalu para kibar tabiin angkat bicara membantahnya, kemudian muncul bid’ah tajahhum (Jahmiyah) setelah selesai masa Tabi’in. bidah ini menjadi besar dan menyebar kejelekannya pada zaman para imam seperti imam Ahmad dan yang semisalnya. Kemudian setelah itu muncul bid’ah Hulul (Hululiyah) dan berkembang pada zaman Al Husein Al Hallaaj. Setiap kali syeithon memunculkan satu kebidahan dan yang lainnya maka Allah bangkitkan diantara hizbu dan tentaraNya yang membantah dan memperingatkan kaum muslimin dari kebidahan tersebut” [18].
Sedangkan Ibnu Hajar menjelaskan bahwa setelah penulisan hadits Nabi muncul penulisan tafsir Al Qur’an, kemudian pembukuan masalah-masalah fiqih yang dilahirkan dari Ra’yu murni kemudian pembukuan yang berhubungan dengan amalan-amalan hati (tashawuf). Adapun yang pertama (pembukuan hadits) diingkari oleh Umar, Abu Musa dan sekelompok sahabat dan mayoritas mereka membolehkannya. Sedangkan yang kedua diingkari sejumlah Tabi’in diantaranya Asy Sya’bi dan yang ketiga diingkari Imam Ahmad dan sejumlah ulama. Demikian juga Imam Ahmad lebih mengingkari lagi yang setelahnya. Diantara yang muncul berkembang juga adalah pembukuan pendapat-pendapat yang berhubungan dengan ushul agama, sehingga tersebarlah kelompok Mutsbitah (yang menetapkan sifat Allah) dan An Nufaah (yang menolak sifat Allah). Kelompok pertama menjadi ekstrim sampai menyerupakan Allah dengan makhluk dan yang kedua sampai menolak semua sifat Allah (Mu’aththil). Para salaf dengan kerasnya mengingkari hal ini seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Asy Syafi’i. Dan pernyataan mereka dalam mencela ilmu kalam sudah masyhur. Sebabnya karena mereka berbicara dalam hal-hal yang Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya tidak membicarakannya. Imam malik pernah menyatakan bahwa pada zaman nabi, Abu bakar dan Umar tidak ada sedikitpun kebidahan- yaitu bidah khawarij, Rafidhah, Qadariyah- lalu berkembang lebih luas (bid’ah ini) pada masa belakangan dari tiga generasi yang utama dalam mayoritas perkara yang telah diingkari para tabiin dan tabiit tabiin. Mereka tidak puas hanya dengan hal ini sehingga mencampur adukkan masalah-masalah agama dengan ilmu kalam Yunani dan menjadikan statemen filsafat sebagai dasar rujukan terhadap atsar (nash-nash syar’I) yang menyelisihinya dengan ta’wiel walaupun dipaksakan. Kemudian juga tidak cukup hanya dengan ini saja sampai menganggap apa yang mereka susun tersebut sebagai ilmu yang paling mulia dan utama untuk dipelajari serta orang yang tidak menggunakan istilah yang mereka buat tersebut sebagai orang awam yang bodoh. Orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh kepada ajaran salaf dan menjauhi kebidahan orang kholaf.[19]
Demikianlah orang-orang yang meanganggap pemikiran mereka lebih baik dari nash-nash syar’I, lalu setelah itu bermunculanlah sikap taklid buta pada kaum muslimin yang menyebabkan mereka jauh darikemulian dan kejayaan yang pernah dirasakan para salaf shalih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melengkapi pernyataan beliau diatas dengan menyatakan: “Kemudian orang-orang terdahulu (Mutaqaddimun) yang meletakkan jalan pemikiran , ilmu kalam dan tasawuf dan yang lainnya masih mencampurkan hal itu dengan dasar Al Qur’an dan Sunnah serta Atsaar, karena masanya masih dekat (dengan generasi terbaik) dan juga cahaya sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masih tampak tinggi, walaupun disebagian orang cahaya sunnah ini telah tercampuri kegelapan yang lainnya. Sedangkan orang-orang akhir (Mutaakhirun) maka banyak dari mereka yang lepas dari kaidah yang diletakkan orang terdahulunya, seperti orang yang menulis kitab ilmu kalam dari kalangan mutaakhirin yang hanya memuat kaidah-kaidah berfikir bid’ah saja dan berpaling dari kitabullah dan Sunnah. Juga menjadikan keduanya sebagai rujukan sekunder saja atau beriman kepada keduanya secara global saja atau perkaranya keluar sampai menjadi zindiq. Ahli kalam mutaqaddimunlebih baik dari mutaakhirun-nya. Demikian juga yang menulis pembahasan Ar Ra’yu hanya menjelaskan pemikiran imamnya dan sahabat pendukungnya saja dan berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah serta menimbang isi kandungan Al Qur’an dan Sunnah dengan pemikiran imamnya saja, seperti banyak dari para pengikut madzhab Abu Hanifah, malik, Syafi’I dan Ahmad” [20].
Demikian akhirnya madzhab menjadi segala-galanya. Semua yang menyelisihi madzhab walaupun itu Al Qur’an dan Sunnah maka harus ditinggalkan. Bahkan sampai-sampai dikatakan yang tidak bermadzhab satu dianggap sesat. Tidak sampai disini saja namun sampai ada yang melarang meneliti langsung Al Qur’an dan Sunnah dengan dalih madzhab telah mencukupinya. Subhanallahu hadza buhtanun Adzim.
Penutup
Sejarah ini membuktikan bahwa jauhnya kaum muslimin dari Al Qur’an dan Sunnah serta pemahaman para Salaf Shalih mengakibatkan kaum muslimin jatuh dalam kehancuran dan taklid buta. Marilah kita jadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai pelindung kita dari semua kesesatan dan kehancuran dan menjadikan keduanya sebagai sumber pelita kehidupan kita semua. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk“. (QS. Al Imran: 103)
Mudah-mudahan dengan demikian Allah Ta’ala memberikan nikmat persaudaraan kepada kita semua.
Referensi
1. Al Qaamus Al Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al Fairyuzabadi (wafat tahun 817 H ), tahqiq Muhammad Na’im Al Urqusysi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Ar Risaalah
2. Al Kuliyaat, Mu’jam Fi AL Mushtholahaat Wa Al Furuq Al Lughowiyah, Ayub bin Musa Al Husaini Al Kafawi (W. 1094 H) tahqiq ‘Adnaan Darus dan Muhammad Al Mishri cetakan pertama tahun 1412H, Muassasah Ar Risalah, Bairut
3. Aqidah Al Salaf Wa Ashhabul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shobuni, (Wafat 449 H ), tahqiq DR. Nashir bin Abdurrahman Al Judai’, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah
4. Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah
5. Taqrib Al Tadmuriyah, Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Sayyid Abbas bin Ali Al Julaimi, cetakan pertama tahun 1413H, Maktabah Al Sunnah, Mesir
6. Al Intishor Li Ahli Al Hadits, Muhammad bin Umar Salim Bazamuul, cetakan pertama tahun 1418 H Dar Al Hijroh, KSA
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Footnote
[1] Lihat Al Qaamus Al Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al Fairyuzabadi (wafat tahun 817 H ), tahqiq Muhammad Na’im Al Urqusysi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Ar Risaalah, Bairut hal. 111
[2] lihat Al Kuliyaat, Mu’jam Fi AL Mushtholahaat Wa Al Furuq Al Lughowiyah, Ayub bin Musa Al Husaini Al Kafawi (W. 1094 H) tahqiq ‘Adnaan Darus dan Muhammad Al Mishri cetakan pertama tahun 1412H, Muassasah Ar Risalah, Bairut hal 878.
[3] Aqidah Al Salaf Wa Ashhabul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shobuni, (Wafat 449 H ), tahqiq DR. Nashir bin Abdurrahman Al Judai’, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah hal 264
[4] ibid hal.285
[5] lihat Majmu’ fatawa 20/300-301
[6] Hadits Shahih Lighairihi. Hadits ini diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnadnya 4/126. Ad Darimi dalam Muqaddimah sunannya, At Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no 42 dan 44 (lihat takhrij Muhamad Umar Bazmul dalam kitab Al Intishor Li Ahli AlHadits hal 35)
[7] Majmu’ Fataawa 10/354
[8] ibid 10/356
[9] ibid 20/301.
[10] Lihat bantahan beliau terhadap qadariyah pada hadits no 8 dalam kitab Al Iman pada Shahih Muslim.
[11] Lihat bantahan beliau pada shohih Muslim, kitab Al Iman, no. 191.
[12] Penamaan seseorang dengan mukmin atau kafir dan hukumnya didunia dan akhirat.
[13] Masalah janji dan ancaman yang ada dalam nash-nash dan penerapannya.
[14] Majmu’ Fatawa 10/357
[15] yang dimaksud disini adalah menjadikan akal sumber rujukan dan mendahulukanatau mengedepankannya dari Nash Al Qur’an dan Sunnah. Lihat Al Intishor Li Ahli Al Hadits, Muhammad bin Umar Salim Bazamuul, cetakan pertama tahun 1418 H Dar Al Hijroh, KSA hal. 21
[16] ibid 10/358.
[17] Ibid 20/302.
[18] lihat Tahdzib Sunan Abi Daud 7/61 hadits no 4527, kami nukil dari Taqrib Al Tadmuriyah, Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Sayyid Abbas bin Ali Al Julaimi, cetakan pertama tahun 1413H, Maktabah Al Sunnah, Mesir hal 12.
[19] Dinukil dari Taqrib Al Tadmuriyah hal 12-13 dengan merujuk kepada Fathul Bari 13/253)
[20] Majmu’ Fatawaa 10/366
Disalin dari ustadzKholid.com
Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog Kardian Success Line, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

0 komentar:

Post a Comment